Lihat ke Halaman Asli

Isu Utama Ekonomi Indonesia ke Depan : Kesenjangan Ekonomi

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data BPS di tahun 2013, Gini Ratio (indikator untuk mengukur kesenjangan ekonomi antara si miskin dan si kaya menunjukan angka 0, 413 yang artinya hampir mencapai ambang batas maksimal yang disyaratkan yaitu 0,5 dan tidak berubah sepanjang 3 tahun yaitu tahun 2011, 2012 dan 2013. Angka angka tersebut menunjukan kegagalan pemerintah dalam mempersempit perbedaan kesenjangan penduduk yang miskin dan penduduk yang kaya.

Dalam sebuah acara TV swasta, para perwakilan partai partai pemenang pemilu dihadapkan dengan panelis dari beberapa pengamat ekonomi. Dalam acara tersebut, isu utama yang dibicarakan adalah isu kesenjangan. Para pengamat ekonomi mengamini bahwa kesenjangan di Indonesia merupakan masalah krusial yang harus menjadi perhatian parlemen dan presiden mendatang. Dari seluruh perwakilan partai yang ada, kesemuanya lebih berbicara soal janji janji politik yang enak di dengar seperti peningkatan produksi hasil kelautan, pemberdayaan masyarakat tani, peningkatan perekonomian kawasan Indonesia tengah dan timur, hanya maruarar sirait yang berbicara soal tax amnesty yang menurut saya juga masih bersifat belanja.

Tanpa mengurangi rasa hormat dan tidak bermaksud menggurui, seluruh hal-hal yang disebutkan oleh para perwakilan partai tersebut bagus adanya namun mereka lupa bahwa hal-hal tersebut memerlukan dana yang berasal dari APBN. Postur APBN Indonesia tidak mengizinkan pemerintah berbuat banyak sehingga kesemua program-program tersebut akan gugur otomatis alias hanya di atas kertas saja, tidak akan terealisir. Celakanya, Kepala Bappenas pun seolah olah blank dan hanya menuntut agar para politikus dan pemerintahan kelak tidak memenuhi apa yang disebut belanja kebutuhan dasar. Alhasilnya, acara  tersebut berakhir tanpa solusi bagaimana caranya mempertipis kesenjangan. Sungguh kasihan rakyat Indonesia yang selalu disuguhkan mimpi dari tahun ke tahun karena ketidakmampuan pemerintahnya dalam merealisasikan program programnya atau yang di tahun politik disebut janji politik

Bagaimana dengan program penerimaan? Sebenarnya beberapa pengamat sempat menyinggung penerimaan namun selalu berharap keajaiban alias tidak realistis. Penerimaan selalu dikaitkan dengan penerimaan migas, wahai bapak dan ibu pengamat, realistis dong, negara kita bukan negara arab yang memiliki kandungan minya dan gas tak terbatas. Apakah bapak dan ibu mewacanakan hal tersebut karena minyak dan gas adalah komoditas seksi yang setiap saat dapat mendatangkan uang instan bagi individu atau BUMN yang dapat diperas belum lagi ditambah semakin banyak proyek yang dapat dimainkan dari sektor minyak dan gas.

Realistis saja, mari kita lihat negara yang tidak memiliki SDA berlimpah namun maju dibandingkan Indonesia. Apa yang negara negara tersebut andalkan? apakah Pariwisata? Pertanian?Perikanan?Jasa? Industri?.

Pertanyaan berikutnya apakah negara tersebut menjual sendiri hasil pertaniannya? menjual sendiri hasil perikanannya? Hasil industrinya? Jasanya? Tentu jawabannya tidak. Private sektor atau perusahaan negara lah yang menjual hasil hasil tersebut, negara memperoleh uangnya dari pajak dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan pajak Indonesia mencapai 80% dari seluruh postur penerimaan APBN, sungguh miris jika melihat para pengamat ekonomi dan politikus politikus menepikan peran pajak dari program mereka.

Saya yakin saat itu mereka, para perwakilan partai tahu tapi mungkin lupa bahwa dahulu pernah diajarkan bahwa salah satu fungsi pajak adalah distribusi pendapatan. Bahasa sederhananya adalah subsidi silang dari pihak yang mampu ke pihak yang tidak mampu yang dananya dipungut dan diolah oleh negara. Gini Ratio bisa sebesar itu dikarenakan fungsi pendistribusian pendapatan di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Penyebabnya ada dua hal yaitu :

1.Pajak belum menyentuh seluruh lapis masyarakat yang memiliki penghasilan dikategorikan sebagai orang kaya

Awal mula terletak di kemampuan pemerintah dalam memaksakan penegakan hukum pajak terhadap wajib pajak yang nakal. Ketidak berdayaan pemerintah terhadap kekuatan kekuatan individual ataupun kelompoki tertentu sungguh memalukan. Tidak diizinkan terjadi sebuah otoritas berbentuk negara dapat dikalahkan oleh individu ataupun kelompok tertentu.

Oleh karenanya penegak penegak hukum di Indonesia harus berkerjasama dengan baik, tidak boleh terpecah belah dan harus berada dalam satu misi yang sama yaitu membela negara, selain itu otoritas pajak saat ini yaitu ditjen pajak memerlukan penguatan dalam segi kewenangan SDM, anggaran dan struktur organisasinya guna memaksimalkan fungsinya dengan pelindung utamanya dari presiden langsung.

Dengan kemampuan tersebut dirjen pajak dapat memberikan keadilan bagi rakyat miskin dan wajib pajak yang patuh dengan memberikan perlakuan yang setara terhadap seluruh wajib pajak tanpa perlu takut untuk dikriminialisir. Dari sisi ini, penerimaan dimaksimalkan sehingga pembiayaan dapat dilakukan secara mandiri tanpa perlu berhutang.

2.Belanja yang tidak tepat sasaran.

Harus terdapat mekanisme control yang ketat terhadap penggunaan APBN/APBD dimana penggunaannya harus sesuai dengan Rencana Strategis yang ditetapkan pemerintah baik dari skala prioritas maupun besarannya. Penggunaan anggaran harus tepat dan menyentuh rakyat miskin sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap pajak yang dibayarkan oleh orang orang kaya tersebut.

Contoh seperti program program yang digelontorkan para wakil rakyat yang saya sebutkan sebelumnya, harus diteliti kembali program mana yang dapat memberikan efek atau dampak besar bahkan menjadi pemacu perbaikan sektor lainnya.

Negara ini bukanlah negara kapitalis, iklim demokrasi yang diciptakan tidaklah diperuntukan bagi pihak pihak tertentu untuk memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Ada hak pihak pihak yang terpinggirkan akibat aktivitas pihak yang mampu yang mana harus dijamin oleh negara bahwa mereka juga harus memiliki ruang gerak untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karenanya , tulisan ini tidaklah cukup kuat sebagai arahan ataupun perintah namun adalah sebagai pilihan bagi kita untuk berubah. Kembali lagi ke pertanyaan cukup beranikah kita untuk berubah??

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline