Lihat ke Halaman Asli

Puti Lona

Mandiri

15 Tahun Sumbar Dipimpin Oposisi, Jalan seperti Kubangan Kerbau

Diperbarui: 17 April 2024   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi Jalan Provinsi di Piladang, yang  menghubungkan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten 50 Kota./dok. pri

Lebaran 2024 telah usai. Satu persatu pemudik mulai meninggalkan kampung halaman menuju perantauan. Banyak perantau yang bahagia karena telah melepas rindu dangan sanak keluarga, tetapi tidak sedikit pula perantah yang sedih dan haru lantaran harus kembali meninggalkan tanah kelahiran. Perasaan sedih itu kian dalam karena menyaksikan berbagai ketimpangan pembangunan di kampung halaman.

Sudah bertahun-tahun lamanya kondisi Sumatra Barat (Sumbar) masih seperti itu-itu saja. Hampir tidak ada pembangunan yang berarti, bahkan justru merosot, terutama di sisi infrastruktur jalan yang kian waktu makin parah. Maka, tidak heran jika banyak perantau yang menyebut jalanan di ranah Minang seperti kubangan kerbau.

Di sebuah nagari di kaki Gunung Marapi, tempat saya menghabiskan banyak waktu selama libur Lebaran, pembahasan soal kondisi jalan selalu menjadi topik hangat. Di kedai-kedai kopi, masyarakat sering bercerita tentang betapa buruknya akses jalan di daerah mereka, seperti jalan yang menghubungkan Tanah Datar dengan Bukittinggi atau Payakumbuh.

Kedua ruas jalan itu masuk dalam kategori jalan provinsi. Hal itu berarti bahwa perawatan dan pembenahannya merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Provinsi Sumbar. Namun, sudah bertahun-tahun lamanya jalan itu dibiarkan dalam kondisi rusak parah. Wajar saja masyarakat beranggapan bahwa Pemprov Sumbar tidak kompeten sama sekali dalam mengelola dan membangun daerah mereka.

Menurut Dinas Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Provinsi Sumbar, sepanjang 1.690,50 kilometer jalan yang menjadi tanggung jawab Pemprov Sumbar. Dari total jalan tersebut, hampir 40 persen di antaranya masuk dalam kategori tidak mantap atau rusak. Mereka beralasan bahwa setiap tahun telah dianggarkan biaya pemeliharaan dan perbaikan, tetapi dana tersebut tidak cukup.

Mengandalkan pembiayan dari anggaran daerah saja tentu tidak akan cukup. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbar yang berkisar Rp6,5 triliun, alokasi untuk belanja modal hanya sekitar 12 persen dan alokasi khusus untuk belanja infrastruktur tidak sampai 10 persen. Sementara itu, dana pusat yang mengalir ke Sumbar tiap tahun juga terus mengalami penurunan. Contohnya, Dana Alokasi Khusus (DAK) yang selalu turun sekitar 9,36% dalam lima tahun terakhir.

Sebenarnya, dalam hal itah peran dan fungsi gubernur dibutuhkan. Sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, Mahyeldi seharusnya bisa menggaet dana pusat untuk perbaikan dan peningkatan infrastruktur di daerah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: daerah lain terus berkembang, sedangkan daerah kita seperti itu-itu saja. Pembangunan di daerah lain makin maju, sementara daerah kita malah terus merosot, bahkan beberapa jalan provinsi kondisinya tidak lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 90-an silam.

Itulah sisi buruk jika kita terus beroposisi dengan pemerintah pusat. Sudah 15 tahun Partai Keadilan Sosial (PKS) berkuasa di Sumbar, selama itu pula daerah ini dipandang sebelah mata di tingkat nasional. Selama bertahun-tahun alokasi dana pusat untuk daerah ini terbilang amat sedikit. Proyek-proyek strategis nasional juga minim didapat. Jika kondisi seperti itu terus berlanjut lima tahun mendatang, bukan tidak mungkin kita akan menjadi provinsi paling tertinggal di Sumatra.

Beginilah kalau kita memilih pemimpin hanya berdasarkan ego sektoral dan kelompok, yang lebih mengutamakan calon dari partai yang berlabel agama, sementara ia tidak memiliki rekam jejak yang baik dalam mengelola sebuah daerah. Sudah saatnya kita lebih memikirkan masa depan daerah ini daripada terus-menerus mementingkan kepuasaan politik semata. Apa gunanya berbangga-bangga daerah kita beroposisi dengan pemerintah pusat, sementara pembangunan sangat minim kita dapatkan? Apakah kita rela Sumbar menjadi daerah tertinggal dan mewariskannya kepada anak cucu kita kelak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline