Persidangan adalah acara untuk memeriksa, mengadili, serta memutus perkara yang dilakukan oleh Hakim/Majelis Hakim di wilayah lingkungan pengadilan, yang didalamnya berisi pembacaan surat gugatan/surat dakwaan, mengajukan eksepsi, replik, pembuktian, hingga duplik.
Persidangan umumnya dilakukan didalam Gedung, hal ini bertujuan agar Hakim/Majelis Hakim dapat melihat secara langsung dengan orang yang berperkara.
Namun pada kenyataannya, virus Covid-19 menjadikan masyarakat sulit memiliki akses untuk bertatap muka dengan banyak orang, hal ini secara otomatis merubah proses acara persidangan.
Hal yang menguatkan untuk merubah proses acara persidangan yaitu asas Salus Populis Suprema Lex yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Asas ini hanya bisa digunakan apabila dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya, hal ini juga didukung dengan Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat dan keadaan bahaya ditetapkan dengan UU"
Dengan adanya sidang virtual ini, Lembaga peradilan akan tetap berjalan meskipun dalam keadaan pandemi Covid-19, proses hukumnya pun tetap murah, sederhana, dan cepat.
Namun dikarenakan pandemi terjadi hampir 3 tahun belakangan ini, peraturan Mahkamah Agung No. 4 tahun 2020 tentang administrasi elektronik belum mengatur secara khusus hak dan kewajiban pihak yang terkait dalam persidangan sehingga mengurangi perlindungan hak asasi manusia.
Apabila merujuk pada cara pandang formal legalistik (penghukuman secara sah dan resmi), sidang virtual memang terlihat tidak sesuai dengan ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang sidang. Pada konteks kehadiran terdakwa, ketentuan yang mengatur kehadiran terdakwa dalam Pasal 154 dan 196 KUHAP yang secara umum berarti kewajiban untuk hadir secara fisik.
Meskipun dalam KUHAP belum diatur tentang penggunaan sarana elektronik, ada peraturan lain menguatkan yaitu seperti UU No. 13 Tahun 2006 pasal 9 ayat (3), yaitu dirubah pada UU No. 31 tahun 2014 yang menjelaskan bahwa saksi/korban dapat di dengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi penjabat yang berwenang dan UU No. 15 tahun 2003 pasal 27 yang menjelaskan bahwa apabila anak korban dan/atau anak saksi tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan didepan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban dan/atau anak saksi di dengar keterangannya melakui perekaman elektronik atau pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual.
Pada sistem peradilan berbasis media elektronik bisa disebut dengan E-Court bagi institusi pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk tetap memberikan pelayanan hukum meskipun para pencari keadilan tidak hadir di pengadilan secara langsung, hal inipun dilakukan secara online tanpa perlu menghadirkan pihak berperkara di ruang persidangan. Merujuk pada fakta yang terjadi saat ini yaitu pandemi Covid-19 mempunyai rujukan khusus tentang hal ini, yaitu:
- SEMA No. 1 tahun 2020 tentang pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran corona virus desease 2018 (COVID-19) di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang dibawahnya
- Surat Jaksa Agung RI No: B- 009/A/SUJA/03/2020 mengenai optimalisasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan ditengah upaya pencegahan penyebaran Covid-19 tanggal 27 Maret 2022
- Surat Edaran Menkumham No. M.HH.PK.01.01.01-03 tertanggal 24 Maret 2020
- Pada tanggal 13 April 2020 secara ketiga lembaga tersebut yaitu Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan kementerian hukum dan HAM menandatangani MoU No. 402/DJU/HM.01.1/4/2020, No. KEP17/E/EJP/04/2020, No. PAS-08.HH.05.05 tentang pelaksanaan persidangan melalui Teleconference
Validitas sidang virtual dikarenakan adanya UU diluar KUHAP sebagai Lex Specialist, kesadaran hakim untuk mengisi kekosongan hukum bedasarkan pasal 10 ayat (1) dan pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, bedasarkan PERMA No. 1 tahun 2019 Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.