Lihat ke Halaman Asli

Dampak Emosional: Bagaimana Perceraian Orangtua Memengaruhi Psikis Anak

Diperbarui: 13 Mei 2024   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Anak-anak mendapat dukungan mental dan fisik dari keluarga, dunia pertama mereka. Anak belajar banyak tentang orang tua dan kehidupan masyarakat melalui interaksi keluarga. Kepribadian anak dibentuk oleh orang tua mereka sebagai pendidik. Dasar kepribadian ini akan bertahan selama hidup. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar untuk mendidik anak-anaknya. Pendidikan yang diberikan orang tua seharusnya membentuk pendidikan, sosialisasi, dan kehidupan masyarakatnya. 

Keluarga adalah kelompok pertama, atau kelompok utama, tempat dasar kepribadian dibentuk. Orang tua memainkan peran penting dalam membangun sistem interaksi yang intim dan abadi yang ditandai oleh loyalitas pribadi, cinta kasih, dan ikatan yang penuh kasih sayang. Penting bagi orang tua untuk memperbaiki kesehatan mental anak mereka. 

Keluarga dianggap sebagai sumber pendidikan moral utama bagi anak-anak. Ayah dan ibunya sebagai pendidik moral pertama mereka. Mereka juga memberikan pengaruh paling lama terhadap perkembangan moral anak-anak. Meskipun guru di sekolah berubah setiap tahun, anak-anak di luar sekolah mungkin tidak memiliki orang tua (Hasanah, 2017).

Keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu bertindak sebagai orang tua. Namun, keluarga yang tidak memiliki salah satu orang tuanya sering terjadi di dunia nyata. Keadaan ini disebut sebagai keluarga dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal adalah orang tua yang membesarkan anak-anak mereka sendirian tanpa pasangannya. Setiap orang tidak pernah berharap menjadi orang tua tunggal; setiap orang ingin memiliki keluarga lengkap. 

Anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena perceraian orang tua, yang merupakan peralihan besar dan penyesuaian diri baru bagi keluarga mana pun. Cara orang tua berperilaku sebelum, selama, dan sesudah perceraian sangat memengaruhi bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian mereka. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa sulit (Ningrum, 2013).

Sangat berbahaya bagi perkembangan anak setelah perceraian orang tua. Menurut beberapa penelitian, dibandingkan dengan 10% anak yang orang tuanya tetap bersama, 25% anak mengalami masalah sosial, emosional, atau psikologis ketika mereka dewasa awal. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan orangtua tunggal dapat melakukan semua hal dengan baik, tetapi mereka cenderung kurang lancar dalam hal sosial dan pendidikan dibandingkan anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan kedua orangtua. Anak-anak akan lebih baik jika hidup bersama orang tua yang sudah menikah daripada tanpa pernikahan, karena keluarga yang tidak stabil memungkinkan perkembangan yang buruk. Anak-anak cenderung mengalami masalah perilaku dan terlibat dalam kenakalan. (Suprihatin, 2018).

Dalam mewujudkan keluarga harmonis bukan perkara yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Berbagai perselisihan dan masalah yang timbul antara suami istri dapat memicu pertengkaran yang berujung pada perceraian. Pada akhirnya, tidak dapat terelakkan, anak juga ikut menanggung akibatnya. Pasangan yang bercerai berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi dampak buruk dari perpecahan rumah tangga mereka dengan berbagai cara agar tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan serius pada anak-anak mereka. Namun sulit dihindari, perceraian dan perpisahan orang tua menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak nantinya. Ketidakharmonisan keluarga memengaruhi perkembangan kepribadian anak, dan banyak penelitian mengungkapkan banyaknya dampak buruk perceraian bagi anggota keluarga khususnya bagi seorang anak. Proses perceraian, bagi anak merupakan masa dimana sedang mengalami pengalaman transgresi (pengalaman disakiti atau mendapat perlakuan tidak adil dari diri sendiri ataupun orang lain) (Yakin, 2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline