Manusia adalah makhluk penafsir. Semua yang terjadi di biosfer ini tidak lepas dari bermacam-macam penafsiran manusia. Selain memang hal itu sudah menjadi sifat dasar manusia sebagaihermeneutic human, manusia juga terlahir dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Keingintahuan manusia yang tinggi pada akhirnya harus mendorong manusia untuk memahami. Dan di situlah eksistensi penafsiran manusia.
Sebuah penafsiran ada bukan tanpa tujuan. Dalam hal ini, secara umum, tujuan manusia menafsiri apapun yang dia tangkap adalah untuk mencari kepuasan hatinya. Kepuasan terkait erat dengan adanya sebuah kebenaran. Artinya, secara tidak langsung ketika seseorang tengah menafsiri sesuatu, di waktu yang sama, dia sedang mencari sebuah kebenaran. Atau lebih tepatnya kesimpulan yang menurut dia itu adalah kebenaran. Namun, terlepas dari benar tidaknya kesimpulan seseorang tadi, tetap saja, titik tekan dalam hal ini adalah pencarian kebenaran. Dengan bahasa lain, melalui penafsiran terhadap sesuatu, seseorang bisa mencari kebenarannya akannya.
Wacana terkait hermeneutika bukan menjadi kajian tabu lagi untuk diperbincangkan. Terlebih bagi yang berkiprah dalam bidang tafsir. Di era modernitas saat ini, pola pikir manusia yang awalnya dikenal dengan pola pikir kosmosentris (pemikiran berpusat pada alam), kemudia disusul era skolastik yang masyhur dengan nalar teosentris (pemikiran berpusat pada Tuhan), kini menjadi pola pikir antroposentris (berpusat pada manusia). Peralihancorak fikir era modern ini berimplikasi pada dominasi pemaknaan dan kebenaran oleh ide-ide yang sejajar dengan sentris yang berlaku. Adadua hal yang menjadi isu kontemporer munculnya paradigma baru ini.Pertama, kesadaran atas kontekstualitas, yaitu kesadaran setiap individu, kelompok atau komunitas sosial tertentu yang berperilaku dan bernalar sesuai dengan konteks kehidupannya; baik historis, sosial budaya-politik, sikap keagamaan sampai pada konteks psikologis. Kedua, kesadaran progresifitas terhadap dinamika perkembangan dalam kehidupan manusia, bahwa kehidupan manusia ini tidak statis atau mandeg, namun senantiasa terjadi proses dialogis dan dialektis antar variabelnya. Berdasarkan asumsi inilah hermeneutika menemukan jati dirinya yang strategis sebagai satu disiplin ilmu yang menggarap wilayah pemahaman dan penafsiran manusia terhadap realitas kehidupannya.
Definisi Hermeneutika
Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaituhermeneuein—sebagai kata kerja. Yunani kuno menyebut hermeneuein sebagai aktivitas menafsirkan. Mereka menggunakan kata tersebut sebagai representasi dari aktivitas menafsirkan karena terinspirasi dari nama salah satu dewa yang mereka yakini, Hermes. Hermes adalah nama dewa yang bertugas untuk menerjemahkan bahasa langit ke bahasa bumi. Dengan demikian, dengan bertolak pada kata penafsiran, mereka menggunakan nama Hermes—yang akhirnya menjadi Hermeneuein—sebagai aktivitas penafsiran. Dan akhirnya, kata hermeneuein diserap ke bahasa Jerman mejadi hermeneutic dan ke bahasa inggris menjadi hermeneutics.
Secara istilah, hermeneutika didefinisikan beragam. Adanya keberagaman tersebut disebabkan oleh adanya perkembangan hermeneutika menjadi sebuah disiplin keilmuan mandiri. Jika dipetakan, sebelum menjadi sebuah disiplin keilmuan, hal itu berarti sebagai sebuah techne atau aktifitas penafsiran. Lebih jelasnya, hermeneutika adalah seni atau cara memahami bahasa orang lain, tulisannya, dan apapun yang tidak jelas secara benar.
Definisi yang kedua—ketika itu sudah menjadi displin keilmuan—hermeneutika memiliki dua definisi: definisi sempit dan definisi luas. Pertama, definisi sempit hanyalah sebatas hermeneutika sebagai metode penafsiran. Kedua, definisi luas hermeneutika mencakup empat istilah: hermeneuse, hermeneutika, philosophische hermeneutic, hermeneutische philosophie. Yang pertama adalah hanyalah sebagai praktek penafsiran, baik itu penafsiran teks, simbol, perilaku manusia, dan sebagainya tanpa terikat sama sekali dengan metode tertentu. Yang kedua adalah tentang bagaimana menafsirkan secara benar, apa metodenya, dan bagaimana aturan-aturannya dalam menafsirkan. Ketiga, philosophische hermeneutic—hermeneutika filosofis—yaitu membahas tentang pertanyaan: mengapa kita bisa memahami ini? Apa saja yang diperlukan sehingga mungkin untuk kita menafsirkan itu? Dan sebagainya. Intinya, di wilayah ini, pembahasannya bukan lagi kepada metode apa atau objek apa, tetapi kepada mengapa bisa. Yang terakhir, hermeneutische philosophie—filsafat hermeneutika—yaitu bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima manusia dari sejarah dan tradisi. Artinya, objek kajian penafsiran di wilayah ini bukan lagi teks, bahasa atau lainnya, namun sebuah fenomena. Hal ini berlandaskan pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk penafsir.
Posisi Hermeneutika Romantis dalam ranah Hermeneutika sebagai Ilmu.
Berbicara tentang keilmuan, tidak bisa tidak juga berbicara tentang sejarah keilmuan itu sendiri. Untuk menjadi sebuah disiplin keilmuan mandiri, bagaimanapun Hermeneutika harus memiliki babakan sejarah perkembangannya. Artinya, Hermeneutika harus melewati objektivikasi, sistemasi, metodesasi, dan universalisasi terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah ilmu. Dan dalam proses yang panjang dan rumit seperti itu, pasti melibatkan sejarah.
Secara sederhana, sejarah perkembangan hermeneutika terbagi menjadi tiga bagian. Adalah hermeneutika teks mitos, hermeneutika teks bible, dan hermeneutika umum atau modern.
Hermeneutika teks mitos.