Bea Materai 10.000 di era pandemi covid 19 cukup menjadi barang yang paling diburu oleh warga masyarakat. Sayangnya,diburu dan laris bukan karena banyaknya bisnis dan usaha baru maupun kontrak-kontrak bisnis yang membludak,namun karena semakin banyak kelakuan-kelakuan aneh yang tidak layak dan patut , amoral , bahkan tindakan yang sebenarnya dapat berujung pidana dan dilakukan di ranah publik.
Kelakuan-kelakuannya pun parah, Penghinaan lembaga kepolisian, Melawan Aparat yang berwenang,pelecehan terhadap orang lain,pencemaran nama baik bahkan pengancaman dengan kekerasan dll. Kelakuan-kelakuan tersebut seolah-olah sudah selesai dan dapat dimaafkan dengan "hanya" selembar permintaan maaf ditempel bea materai 10.000.
Bagaimana sebenarnya materai 10ribu , apakah benar mempunyai kekuatan hukum ?
Perlu diketahui dalam Undang-Undang bahwa :
- Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen. (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 10 tahun 2020)
- Sedangkan Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen. (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 10 tahun 2020).
Pada intinya, materai bukanlah bukti pengesahan sebuah dokumen ,namun sebagai bukti bahwa bahwa dokumen tersebut telah lunas bea materainya dan apabila tidak ada materai, tidak secara otomatis membuat sebuah dokumen menjadi tidak sah.
Bea Materai 10 ribu dan Surat Permintaan maaf menunjukkan kemerosotan penegakan dan pendidikan hukum
Dengan mudahnya orang meminta maaf dengan materai 10 ribu menandakan bahwa pendidikan hukum kita tidak berjalan sebagaimana mestinya, Pendidikan hukum berjalan apabila mekanisme pemberian sanksi terhadap suatu kesalahan berjalan. Hal ini menjadi penting agar kesalahan dan tindakan yang melanggar/melawan hukum tidak terjadi kembali dan menimbulkan efek jera. Begitu pula dengan penegakan hukum, Pada prinsipnya Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH bahwa Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. maka apabila segala sesuatu diselesaikan dengan hanya permintaan maaf maka norma-norma hukum yang kita bangun sebagai pedoman perilaku tidak berfungsi dan hasilnya akan timbul lagi masalah-masalah yang baru dan lebih kompleks lagi.
Solusi yang lebih bijak dalam menangani perkara-perkara yang mengandung unsur-unsur amoral, berujung pidana namun masih tetap dapat diampuni /ditolerir adalah dengan pendekatan keadilan restoratif yakni penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula dan dapat dirupakan dalam bentuk pidana kerja sosial yang tercantum dalam rancangan RKUHP Indonesia yang baru. Semoga kasus-kasus yang baru bermunculan di pandemi covid 19 menjadi pembelajaran bagi segenap elemen pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran hukum serta mempercepat solusi penyelesaian hukum yang bijak,adil dan memiliki kepastian hukum di negara tercinta kita,Indonesia .