Lihat ke Halaman Asli

BUMN Bahan Bakar Nabati (BBN): Solusi Pemberantasan Miras Melalui Konversi Miras Menjadi BBN

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13312583501631552820

Peredaran dan perdagangan minuman keras (miras) di Indonesia telah memakan banyak sekali korban jiwa, sebagian merupakan korban dari premanisme miras, kejahatan jalanan (menjadi alasan pembenaran atas perilaku kejahatan), pembunuhan, bencana transportasi, serta kecelakaan maut. Angka kejahatan dan kecelakaan berbasis minuman keras akhir-akhir ini terus meningkat signifikan dan sangat mengkhawatirkan. Padahal salah satu syarat utama pembangunan kesejahteraan ekonomi adalah rasa aman, sementara sumber kejahatan malah tidak tersentuh sampai saat ini. Sekali lagi pengendalian industri dan perdagangan miras adalah mutlak tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab kiai, pendeta, dan tokoh agama karena miras adalah komoditas ekonomis yang diproduksi secara sistematis.

Sesungguhnya negara tidak akan kehilangan produktivitas ketika misalnya dalam contoh ekstrem, seluruh pemabuk di negeri ini tewas over dosis miras. Dan perlu diingat bahwa angka ekonomi perdagangan miras tidak terlalu besar, alias sangat kecil dibandingkan dengan produk domestik Indonesia. Artinya adalah bahwa, ada atau tidaknya ekonomi miras tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan pajak (PPN), serta tidak berdampak serius kepada perekonomian nasional. Multiple effect industri miras dan komsumsi miras adalah negatif, alias lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Berbeda dengan industri perikanan misalnya, selain menyerap tenaga kerja juga meningkatkan pasokan gizi masyarakat dan pada akhirnya meningkatkan kesehatan dan kinerja setiap orang. Demikian juga dengan industri obat-obatan, air minum, pertanian organik, madu, telekomunikasi dan sebagainya yang sangat produktif tanpa “efek samping”. Dengan demikian, dapat dikatakan penegakan hukum dan iktikad/ niat dan komitmen pemerintah adalah faktor utama diterbitkannya kebijakan perang terhadap konsumsi miras.

Benar, bukan perang terhadap minuman keras, namun perang terhadap konsumsi miras. Mengapa? karena sesungguhnya agama tidak melarang untuk memproduksi minuman keras. Namun mengkonsumsi minuman keras lah yang dilarang oleh agama manapun, karena membahayakan keselamatan orang lain dan diri kita sendiri. Saya tidak anti minuman keras, demikian juga dengan pemerintah, bahkan pemerintahpun menyukai minuman keras (baca: mengijinkan produksi miras). Lantas mengapa negara menyukai miras? karena sesungguhnya miras memiliki unique value atau nilai ekonomis.

Negara harus merubah cara pandang industri miras tanah air melalui nilai ekonomis minuman keras menjadi komoditas yang bermanfaat, bukan lagi dilihat sebagai ancaman. Oleh sebab itu, Kebijakan Konversi Miras Menjadi Bahan Bakar Nabati (BBN) menggantikan BBM fosil bagi industri dan kendaraan bermotor harus segera dilakukan. Melihat karakteristik geografis dan potensi pertanian, perkebunan & tenaga kerja di tanah air, saya optimis Indonesia dapat memenuhi komposisi konsumsi domestik 60% BBM dan 40% BBN menggantikan minyak fosil dalam 10 tahun ke depan. Pasokan BBN dari dalam negeri ini tentu akan mengurangi impor minyak nasional, sekaligus menjadi eksportir BBN. Tentu keuntungan ekonomis, strategis, hankam, dan popularitas sudah di depan mata.

Pembangunan infrastruktur produksi BBN nasional harus menjadi prioritas pemerintah dan digenjot sebagai mana produksi BBM dan diregulasikan juga seperti BBM sebagaimana indikator produksi minyak nasional dalam kebijakan fiskal APBN. Caranya dengan membangun BUMN Bahan Bakar Nabati (BBN) sekelas Pertamina, sedangkan tulang punggung produksi perkebunannya adalah PTPN sebagai pemasok utama bahan baku. Tugas pemerintah adalah menggunakan regulasinya untuk memastikan bahwa produk BBN benar-benar berkualitas dan terserap oleh pasar. Dengan menguasai 40% pasokan BBN dan 30% produksi BBM saja, pemerintah sudah mampu menguasai kembali pasokan energi nasional sekaligus melaksanakan amanat UUD 1945 Pasal 33. Kebijakan konversi BBN ini sifatnya sangat strategis menghadapi gejolak keamanan di Timur Tengah dan ketergantungan impor minyak. Sedangkan jeda waktu yang ada dapat digunakan untuk renegosiasi kontrak pertambangan minyak yang mana daya tawar Indonesia menjadi sangat kuat tanpa ketergantungan impor minyak, sehingga dapat menentukan harga kontrak tambang yang wajar tanpa tekanan pihak asing.

Proses produksi bahan baku berupa miras menjadi bahan bakar nabati berkualitas sesungguhnya tidak sulit, hanya memerlukan satu proses reaksi saja. Dari Alkohol menjadi senyawa etanol untuk kemudian dijual kepada PTPN sebagai pemasok bahan baku atau langsung ke BUMN BBN yaitu “Pertamina” (Pertanian Minyak Nabati). Dan nilai produksinya tentu saja menjadi lebih tinggi dan sangat menguntungkan. Kebijakan konversi ini tidak hanya akan manguntungkan bagi pengusaha miras, tapi juga sangat menguntungkan para petani jagung, beras, ketan, tebu, ubi, singkong dll sebagai produsen bahan baku BBN. Mengurangi pencemaran lingkungan, menyerap tenaga kerja di sektor pertanian, industri pupuk kimia, dan industri BBN,menurunkan ketergantungan terhadap impor BBM, menopang ketahanan energi, menjadi eksportir energi BBN, serta keuntungan popularitas dan dukungan politik dari partai-partai religius.

Saya yakin, kebijakan Konversi Miras Menjadi BBN ini akan meningkatkan produktivitas perekonomian, efisiensi subsidi BBM, sekaligus mendapatkan dukungan masyarakat luas. Kebijakan ini akan merebut hati umat secara politis, sekaligus membawa perubahan besar bagi pasokan energi nasional. Masyarakat beragama, kiai, pendeta, ulama dan tokoh agama pun akan sangat senang dan dapat lebih khusyuk beribadah, keamanan umat terjamin, human error di sektor transportasi dapat ditekan, penyakit masyarakat dibasmi serta masyarakat menjadi lebih sehat. Investasi pembangunan pabrik BBN memang harus dimulai oleh pemerintah dengan skema Public-Private Partnership misalnya, saya kira tidak akan mencapai lebih dari 10 triliun untuk tahap pertama. Yang pasti, ini bisa menjadi solusi jangka menengah yang lebih baik daripada opsi tunggal kenaikan harga BBM.

Penegakan hukum bisa dimulai dari yang kecil terlebih dahulu, uang Rp 1000 tersusun dari sepuluh keping uang logam Rp 100 terasa sangat rasional. Misalnya pemberantasan miras, baru kemudian model penegakan hukum ini dapat ditularkan untuk menyelesaikan masalah bangsa yang lebih besar. Paling tidak, budaya taat hukum harus dibentuk terlebih dahulu sampai ke pelosok, menyentuh setiap rumah tangga Indonesia dan baru kemudian “tangan Tuhan” milik Adam Smith yang akan bekerja seperti bola salju. Kebijakan Konversi Miras ke BBN ini dapat menjadi dayung yang digunakan untuk melampaui tidak hanya dua pulau, tapi sepuluh pulau sekaligus.

Negara memiliki hak dan kekuasaan penuh yang mutlak atas setiap transaksi perdagangan barang dalam wilayah negara ini, termasuk perdagangan minuman keras. Kebijakan itu harus diambil oleh negara demi kepentingan masyarakat, demi hak setiap warga negara atas rasa aman, demi meningkatkan kesehatan masyarakat, dan meningkatkan belanja rumah tangga Indonesia menjadi lebih produktif. Masyarakat rumah tangga akan membelanjakan uangnya untuk membeli susu, buku, berekreasi, akses internet/ telekomunikasi atau perangkat teknologi sehingga konsumsi domestik lebih kuat. Kokohnya belanja konsumsi domestik tentu akan memberikan kontribusi terhadap prtumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline