Lihat ke Halaman Asli

Rasionalisasi Harga Listrik Nasional

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1331260121771786159

Rasionalisasi harga listrik, sudah saatnya disadari mengingat pertumbuhan permintaan akan sektor energi oleh konsumen terus bertambah. Melihat sejarah listrik nasional, pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan penawaran energi listrik yang memadai mengakibatkan distorsi subsidi yang sangat memberatkan APBN. Karena pertumbuhan ekonomi berbading lurus dengan pertumbuhan permintaan energi listrik. Reformasi kelistrikan seharusnya merupakan prioritas dan salah satu syarat percepatan pembangunan nasional. Ini merupakan saat yang tepat bagi Indonesia untuk mengedepankan pembangunan fasilitas pendukung utama basis industri sebagaimana China dan India dengan tujuan untuk merebut pasar investasi jangka panjang dengan penciptaan daya saing infrastruktur listrik dan keunggulan pasokan energi. Menurut data PLN, beban puncak pada 2007 sudah melampaui kapasitas terpasang pada 2001 sebesar 21.300 MW. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan permintaan rata-rata listrik mencapai lebih dari 5% per tahun sejak 2001. Oleh sebab itu, kenaikan permintaan listrik nasional harus sebanding dengan penambahan kapasitas listrik terpasang sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 untuk menjamin kecukupan pasokan listrik nasional. Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Undang-Undang Ketenagalistrikan tersebut jelas mengamanatkan listrik harus diual dengan "harga yang wajar". Wajar berarti ditetapkan berdasarkan pertimbangan yang rasional sesuai dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Dapat disimpulkan bahwa untuk membentuk kemandirian industri listrik nasional, maka harga listrik harus benar-benar sesuai dengan BPP-nya. Nah, pertanyaanya apa yang sebenarnya mempengaruhi tingginya BPP yang memaksa PLN dan pemerintah mengusulkan kenaikan harga listrik? Biaya Pokok Penyediaan (BPP) sangat ditentukan oleh unit-unit produksi listrik yang sering kita dengar sebagai pembangkit listrik. Pembangkit listrik milik PLN sebagian besar menggunakan gas dan batubara sebagai bahan bakar utamanya. Oleh sebab itu jaminan pasokan dan harga gas/ batubara sangat menentukan BPP listrik. Disisi lain, berdasarkan asusmsi makro 2011 produksi minyak dan gas nasional hanya mencapai 970 ribu barel per hari (bph) sedangkan kebutuhan minyak nasional sudah mencapai sekitar 1,3 juta bph pada 2010 dan terus tumbuh. Kebutuhan ini ekivalen dengan minyak mentah 2 juta bph. Sehingga selisih kebutuhan minyak nasional harus harus dipenuhi dari impor BBM dengan harga internasional yang jauh lebih mahal tentunya. Yang menjadi masalah adalah, selama ini PLN menggunakan BBM yang lebih boros (dibandingkan menggunakan gas) sebagai bahan bakar yang menggerakkan pembangkit-pembangkit listrik itu sebagai pengganti gas. Hal ini disebabkan karena PLN tidak mendapatkan prioritas pasokan gas yang cukup untuk memproduksi listrik. Kekurangan pasokan gas inilah yang terus membuat BPP meningkat tajam dan mengakibatkan subsidi yang sangat membebani APBN. Kebutuhan gas PLN mencapai 2.398 miliar british thermal unit per hari (BBTUD), sementara pasokan gas ke PLN baru mencapai 1.148 BBTUD. Kementerian ESDM dan Pertamina serta BP Migas adalah yang paling bertanggungjawab dalam hal ini. Oleh sebab itu, upaya rasionalisasi harga listrik dilakukan untuk mengurangi beban APBN. Kenaikan tarif listrik sebesar 5% saja akan mampu menghemat lebih dari 5 triliun APBN sekaligus PLN akan mampu meningkatkan kapasitas terpasang sebesar lebih dari 5% untuk tahun 2012. Rasionalisasi harga listrik merupakan solusi terakhir atas kegagalan pemerintah dalam menjamin pasokan gas sebagai bahan baku utama produksi listrik nasional. Sebagaimana diketahui bersama bahwa jaminan pasokan listrik merupakan salah satu syarat investasi manufaktur bersama-sama dengan hak atas kepemilikan property. Tidak mengherankan apabila, industri skala besar terutama pertambangan lebih memilih membangun pembangkit listrik mandiri untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri mengingat ketidakandalan pasokan listrik di indonesia. Melalui ketersediaan listrik yang cukup, stabil dan konsisten, konsumen industri akan sangat terbantu untuk menjamin stabilitas kapasitas produksinya serta meningkatkan daya saing ekspor pagi perusahaan yang berorientasi ekspor. Lebih lanjut, efek berantai ketersediaan pasokan listrik akan mendorong masuknya investor, peningkatan daya saing industri, serta meningkatkan kapasitas produksi nasional dan pada gilirannya akan mendorong terciptanya percepatan pembangunan nasional. Konsumen listrik industri menempati porsi utama sebagai pelanggan terbesar PLN. Rasa keadilan bagi masyarakat konsumen rumah tangga tidak akan tercederai dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik. Perlindungan atas hak mendapatkan harga listrik yang adil sudah dilakukan melalui Perpres NOMOR 8 TAHUN 2011 tentang Tarif Tenaga Listrik. Tidak semua pelanggan yang akan mengalami kenaikan tarif listrik. Pelanggan 450 VA dan 900 VA dari seluruh golongan tarif tidak mengalami kenaikan Tarif Tenaga Listrik. Sebagaimana disebutkan Menteri Keuangan dalam pernyataannya (23/08/2011) bahwa kenaikan TDL itu tidak ditujukan pada masyarakat golongan bawah, namun ditujukan pada masyarakat golongan mampu atau kelompok industri, yang memang tidak layak menerima fasilitas subsidi listrik lagi dari negara. Jadi jelas bahwa pertimbangan perlindungan konsumen listrik rumah tangga layak untuk diapresiasi. Kendala utama penerapan kebijakan yang efisien seringkali harus berhadapan dengan kepentingan yang lebih kuat. Kepentingan politik barangkali memang ditakdirkan untuk hampir selalu berseberangan dengan kebutuhan yang realistis. Realitas politik menginginkan stabilitas atas kekuasaan, sedangkan realitas ekonomi mensyaratkan perubahan yang dinamis sesuai dengan dinamika kebutuhan dan permintaan. Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa penentuan skala prioritas yang dilihat dari kacamata pilitik atas pemenuhan pasokan gas misalnya menyebabkan kelangkaan gas sekarang ini, yang seharusnya menjadi prioritas utama dibandingkan dengan ekspor. Namun, keuntungan yang sangat besar atas hasil ekspor gas itu membuat kebutuhan pasokan gas di dalam negeri terabaikan samasekali. Jelas, bahwa kenaikan harga listrik berpotensi mengurangi dukungan kalangan industri kepada partai politik karena harus membayar harga listrik yang lebih mahal. Popularitas politik akan menurun, sekaligus menjerumuskan negara dalam jebakan subsidi listrik yang dibiayai dari utang. Sementara itu, disiplin anggran negara harus tetap dipertahankan demi kesehatan ekonomi Indonesia dengan jalan mengurangi ketergantungan masyarakat industri terhadap subsidi listrik. Efisiensi ini dilakukan karena beban subsidi listrik dalam APBN sudah melampaui Rp 65 triliun selama 2011 dan akan diturunkan menjadi Rp 45 triliun pada tahun 2012. Rp 20 triliun merupakan penghematan penghematan yang luar biasa besar yang bersumber dari kebijakan rasionalisasi harga listrik yang dapat dialokasikan dalam sektor pertahanan atau pendidikan misalnya. Dengan melihat angka itu, kehilangan rasionalitas dalam pembangunan produksi listrik nasional dapat dikatakan sebagai kejahatan yang merugikan negara sejumlah triliunan rupiah. Kemandirian penyediaan energi listrik harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam jangka panjang. Dalam sektor apapun, subsidi bukan merupakan solusi. Subsidi listrik nasional sudah benar-benar berpotensi merusak proporsi APBN. Subsidi hanya akan menciptakan ketergantungan, menurunkan produktivitas dan pada gilirannya akan membunuh kretivitas dan inovasi. Demikian juga dalam sektor kelistrikan, perlu dipetakan kenaikan permintaan energi listrik nasional 10 atau 20 tahun ke depan beserta roadmap peningkatan produksi listrik nasional. Apabila permintaan energi listrik pada 2020 misalnya tidak terpenuhi, hal itu hanya akan menjadi hambatan pembangunan industri nasional saja. Ketika permintaan energi listrik nasional terus tumbuh & sudah melampaui batas kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tersebut, maka keterlibatan sektor swasta dalam produksi listrik perlu dipertimbangkan. Jadi, jangan sampai kebijakan kelistrikan nasional kehilangan arah dan terkesan tambal sulam, tanpa kebijakan energi nasional yang jelas akan sangat rawan penyusupan muatan-muatan kepentingan dalam pembangunan produksi listrik nasional yang andal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline