pada hari jumat, 23 september 2011 saya datang menghadiri diskusi di Nalar Institut, sebuah kelompok diskusi punya kawan Hikmat Gumelar di Jatinangor, Sumedang. Saya berangkat sesudah siaran di Radio Jaf 89,9 FM dan solat Jumat di Masjid Jabir. Tema diskusinya adalah "Kuasa Meja Makan". Yang omong adalah Fadly Rahman dan Gani A. Jaelani. Keduanya berprofesi sebagai dosen di Fasa Unpad. Fadly Rahman adalah penulis buku Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, sebuah buku yang diterbitkan oleh Gramedia. Buku ini menjadi obyek kajian dari keduanya.
Rijsttafel secara harfiah adalah meja makan. Kira-kira semacam bagaimana penyajian makanan yang terhidang di atas meja makan untuk disantap. Tentu, cara bersantap nasi seperti makna generik dari kata rijsttafel ini,-rijs sendiri artinya beras, nasi, yang semakna dengan rice, yang nomina diantaranya adalah buras dalam bahasa Sunda-, dan stafel yang artinya meja--, terasa biasa di masa kini. Namun, awalnya dan dalam lintasan perkembangannya, makan nasi diatas meja ini sangat luarbiasa. Makan dengan menu nasi sebagai sajian utama diatas meja adalah rekayasa kolonial untuk membedakan dengan masyarakat pribumi yang menggunakan jari tangan dan makan diatas daun yang dianggap sebagai rendah. Nantinya, sajian diatas meja yang beragam tidak hanya meliputi sajian menu, melainkan juga perlatan yang dipakai semcam sendok, piring, garpu, pisau, gelas, serbet serta seperangkat meja dan kursinya.
di kampung saya, kebiasaan untuk mengoleksi piring, gelas dan sendok serta peralatan makan terpelihara hingga kini. Lihatlah kalau anda bertamu, isi lemari dari rumah pribumi biasanya diisi dengan aneka barang itu. Sepertinya barang-barang itu ada, dibeli, bukan untuk digunakan, tetapi sekedar "pameran" saja. Sering saya merasa geli, jika kemudian disadari atau tidak bahwa kebiasaan itu merupakan hasil dari mental inlander yang ditanam oleh Belanda sebagai kolonial.
Dalam buku itu juga disebutkan soal ini. Bahwa kaum kolonial melakukan rijsttafel ini sebagai usaha untuk membuat jarak sekaligus sebagai petunjuk status, derajat dan kehormatan dalam penyajian makan, etika menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan. Lihat saja, untuk melayani tuan dan nyonya makan, diperlukan selusinan pelayan yang kesemuanya pribumi.
Dan kini, jauh kemudian setelah kaum kolonial meninggalkan negeri ini, tradisi bersantap ini memiliki arti lain. Seperti seloroh makan apa? makan dimana? apa yang dimakan hingga makan siapa? atau bahkan mengganti menteri juga kadang dibicarakan sambil makan-makan bukan?
olala...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H