Lihat ke Halaman Asli

Oom Somara De Uci

Radio Rarama Kedaton Cibasale

Pamali dan Kearifan Lokal Kita

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oom Somara de Uci

“Caang bulan dadamaran, hurung oge tamba pamali
Abdi sering kasamaran, sugan teh jungjunan abdi”

*

Mantra lama yang dikutip diatas artinya adalah, “Sudah bulan terang karena purnama tetap menyalakan lampu, menyalakannya sebagai tanda hormat pada pamali semata”. Dahulu, di perkampungan, sudah lazim anak-anak bermain di bawah terang bulan, begitupun orang dewasa, namanya mulan, ngabulan, yakni menikmati cahaya bulan purnama. Tapi uniknya di sekitar tempat mereka lampu-lampu obor tetap menyala, walau dengan nyala sedikit, begitupun di rumah-rumah mereka. Lampu-lampu damar tetap dinyalakan. Konon itu adalah upaya untuk terhindar dari bahaya “ditekuk maung” atau “digondol kelong”.

Pamali. Di lain tempat disebut panyaraman atau pantrang, sebuah diksi yang dekat dengan kosa kata Melayu, pantang. Keduanya memiliki arti yang sama. Yakni sama-sama berarti aturan tidak tertulis berupa larangan yang harus ditaati. Pamali sering didefinisikan dengan pant(r)angan. Orang menyebut demikian biasanya karena sulit untuk menjelaskan kata pamali ini.

“Kunaon teu meunang heheotan di imah?”
“Pamali!”
“Pamali teh naon?”
“Pantrangan!”
“Pantrangan? Pedah naon?”
“St, lah pokona mah pamali!”
Jika pamali sering diartikan secara cepat sebagai pantrang, itu artinya tidak menjelaskan apapun. Seolah pamali telah tercipta begitu saja ( taken for granted ). Hingga tak ada secuilpun kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang satu hal yang dipamalikan itu.

Pada masyarakat Sunda, pamali menempati ruang istimewa. Letaknya berada pada hirarki paling tinggi dalam seluruh siklus kehidupan. Banyak orang mengalah atau menyerah untuk kemudian tunduk dan patuh pada pamali. Pamali lebih ditakuti dari pada hantu sekalipun. Biasanya alasan kenapa harus demikian tak pernah diungkapkan. Cukup dengan menyatakan larangannya saja.

Tetapi jangan pernah menganggap enteng terhadap pamali. Di beberapa tempat, pamali ini masih makan. Makan artinya berlaku. Misalnya di Situ Cangkuang, selama naik rakit anda dilarang untuk menyibak air danau dengan tangan. Sebab dengan tingkah seperti itu anda sedang sengaja mengundang kemunculan buaya siluman yang diyakini menghuni danau itu.

Cobalah datang ke Situ Sangiang di Kecamatan Talaga, Majalengka. Di samping tempatnya masih sangat angker, sejumlah pamali ada di sini. Misalnya anda tidak diperbolehkan mengucapkan kata-kata tertentu yang dipahing (terlarang) walaupun mungkin saja kata-kata itu di tempat lain bermakna biasa saja. Pamali lain yang ada di Situ Sangiang adalah larangan menangkap ikan lele yang ada di sana. Ikan ini dipercaya sebagai prajurit kerajaan Talaga yang termasyhur menghilang itu. Dengan demikian ikan lele ini adalah leluhur bagi mereka.

Pada masyarakat Baduy, warna pakaian yang diizinkan hanya hitam dan putih. Alasannya sangat sederhana jika ditanya kenapa demikian,” Pulas eta teh parantos sae pisan”, katanya. Tentu, sangat menarik untuk tahu makna dibalik kata-kata yang diungkapkan itu. Hingga kinipun masyarakat Baduy memang hanya menggunakan 2 warna itu untuk pakaian mereka. Jika dilihat dari perspektif masyarakat kita yang konsumtif, perilaku mereka jauh lebih santun dan hemat.

Pamali dan Siklus Kehidupan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline