Lihat ke Halaman Asli

Virus

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas "virus takfiri" yang belakangan ini dialamatkan kepada Islamic State (IS), virus ini setidaknya sudah ditulis kurang lebih 50an opini dari pelbagai perspektif. Bukan juga "virus ebola" yang menjadi dilema di negara Afrika, istilah ebola haemorrhagic fever diganti menjadi ebola virus disease ini sudah mematikan banyak jiwa. Tetapi "virus fanatisme" yang menjadi biang keladi keharmonisan antar-manusia dan bias kawan menjadi lawan.

Virus fanatisme tersebut menjadi penyakit yang memiliki pola pikir eksklusif dan susah mengubah haluan kehidupannya. Secara sosiologi, kecenderungan seseorang yang fanatik memiliki sedikit teman dan kawan, koneksitifitas dengan orang lain menjadi masalah tersendiri baginya, karena dirinya susah beradaptasi dengan lawan.

Problematika inter-koneksi diatas menjadikan kehidupan sang fanatisme menjadi sedikit lebih ironis. Pelbagai sebab bisa kita temui di lapisan masyarakat saat ini atau disebuah institusi kecil-besar. Misalnya, jalan pikiran seseorang yang fanatik berawal dari asumsi kuat dari dalam dirinya, bahwa orang lain tidak menyukainya dan menyenanginya bahkan lebih ekstrimnya, ia memiliki perasaan eksistensinya akan terganggu. Pergolakan emosi tersebut membuat seseorang cenderung frustasi dalam menyikapi sebuah masalah.

Perasaan ancaman demikian membuat ia perlu membela dirinya dengan pelbagai cara dan instrument. Hal ini oleh pelbagai pakar psikologi mampu membuat frekuensi agresifitas seseorang meningkat lebih dari biasanya.

Dalam posisi demikian, Ary Ginanjar Agustian memberikan sebuah solusi alternatif terhadap sang fanatisme. Fanatisme terhadap segala informasi yang diterima seharusnya dizerokan dan berubah kepada haluan berpikir melingkar dengan menggunakan suara hati.

Penyakit ini sangat sulit dihilangkan, karena syaraf tertentu telah putus. Ia selalu merasa dalam posisi ‘paling benar' dan orang lain selalu salah. Dengan demikian teori yang bisa dimuncul yaitu: jika teori a selalu salah maka teori u selalu benar dan tidak sebaliknya. Dengan demikian penafian sifat rasionalitas akan hilang, kebenaran tidak lagi bersifat obyektif tetapi subyektifitas.

Bagaimana dengan orang minoritas? Menyakitkan. Bagi anda sang minoritas jangan sekali-kali mencoba hidup dalam sangkar srigala. Srigala jika ingin memangsa ia akan keluar dari kandangnya dan pulang dalam keadaan senang dan gembira. Artinya, dorongan kebencian itu selalu muncul dikala dirinya tidak mampu menguasai emosi negatif, dan berakhir pada pemusatan bagiamana membuat sebuah asumsi (bukan hipotesa) yang dapat menggiring opini orang lain untuk sama-sama membencinya. Ini merupakan pola lingkar atau haluan populer yang sangat mudah ditebak dalam kehidupan orang-orang fanatisme.

Secara turun-temurun, sebagaimana yang dikatakan oleh guru besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, bahwa kecenderungan beragama (dan lainnya, pen) orang Indonesia yaitu inklusif bukan eksklusif, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya yang keluar dari rel demikian. Oleh sebab itu perlu kiranya, saya menghimbau untuk ‘menjauhi' orang-orang demikian. Tetapi jika anda memiliki ke-pribadian yang sudah matang maka saatnya anda merubah orang tersebut. Waspadalah, tipuan retorika orang fanatisme sangatlah bagus, hal inilah yang membuat pengikutnya mati-matian atau gila-gilaan membelanya.

Semoga anda tidak memiliki teman yang memiliki sikap fanatisme tingkat tinggi. Haha




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline