Lihat ke Halaman Asli

Puspo Lolailik Suprapto

Esais/Bookstagrammer

Perempuan di Rumah No. 8, Cerita yang Mengangkat Isu KDRT dan Kekerasan yang Diwariskan

Diperbarui: 16 Juli 2024   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cover Depan Novel Perempuan di Rumah No. 8 | Sumber : Gramedia Pustaka Utama

Anika tidak pernah menyangka pertemuannya dengan orang yang ia cintai akan berakhir dengan bencana. Reza, laki-laki pertama yang ia cintai, tiba-tiba berubah menjadi sosok jahat. Dia sering memukul Anika hingga mengalami pendarahan parah dan hampir kehilangan kesadaran.

Sambil menahan sakit, perempuan itu mencoba menghubungi satu-satunya keluarganya, Bibi Santi. Namun, bukannya membantu, Bibi Santi malah meminta Anika untuk kembali bersatu dengan suaminya. Menurutnya, menceritakan pertengkaran dengan pasangan adalah aib, dan seorang Muslimah yang taat tidak boleh melakukannya.

Anika kemudian meminta bantuan dari Desti, teman kantornya. Beruntung, Desti memberikan respons yang berbeda dari Bibinya. Saat tiba di rumah Anika dan melihat kondisinya yang kritis, Desti segera membawa Anika ke rumah sakit. Nyawa Anika berhasil diselamatkan, tetapi sayangnya, bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan.

Setelah mengalami trauma akibat kekerasan tersebut, Anika melarikan diri dari rumah dan mencari tempat perlindungan. Dari rumah aman di Bogor, dia pindah ke sebuah kontrakan kecil dengan nomor delapan di Yogyakarta. Namun, Anika tak menyangka bahwa di kontrakan itu, dia ketakutan. Bukan dari manusia, tetapi dari hantu perempuan bernama Lastri.

Ketakutan dan Kesedihan

Kisah-kisah tentang Kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol telah lama menjadi bagian dari warisan nenek moyang yang populer dalam berbagai karya. Menurut Gita Putri Damayana dalam tulisannya di The Conversation, keberadaan kisah hantu perempuan yang terkenal dalam budaya Indonesia tidaklah kebetulan semata.

Kehadiran mereka tetap relevan sepanjang waktu karena menyentuh masalah serius yang dihadapi perempuan-perempuan Indonesia, yaitu akses yang terbatas ke layanan kesehatan dan ketakutan akan kekerasan.

Kuntilanak dan Sundel Bolong tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, dan meninggal bersama bayi mereka saat melahirkan. Di sisi lain, Si Manis Jembatan Ancol dan Sundel Bolong adalah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, dan kini mereka menjadi hantu yang mencari keadilan.

Kisah-kisah tentang kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol mengungkapkan betapa seringnya kekerasan terhadap perempuan, yang terus berlanjut di Indonesia saat ini. Dalam novel berjudul Perempuan di Rumah No. 8 ditulis oleh Mutiarini, sepertinya dia sadar akan tema ini. Dengan cerdas, penulis memasukkan elemen horor untuk menyoroti isu penting mengenai kekerasan terhadap perempuan melalui karakter Lastri.

Mutiarini menggambarkan Lastri sebagai sosok yang menyeramkan. Leher Lastri patah dan tubuhnya terluka parah dengan darah yang menyelimutinya. Dia selalu menghantui Anika, tetapi menariknya, hantu itu tidak pernah muncul di orang lain.

Alasan keberadaan Lastri tidak tanpa sebab. Seperti Anika, Lastri juga menjadi korban kekerasan dari laki-laki yang dicintainya. Yang membedakan mereka hanyalah nasib tragis Lastri yang tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan sampai akhir hidupnya. Dia harus menahan segala bentuk kekerasan dari suaminya, termasuk ekonomi, fisik, dan juga psikologis, bahkan ketika dia sedang mengalami depresi pasca melahirkan. Tubuh dan pikirannya hancur berkeping-keping.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline