Sudah lebih dari sebulan saya ingin pergi ke padang edelweis di Surya Kencana, Gunung Gede. Bukan impian yang muluk, karena Gunung Gede tidak jauh dari domisili saya. Bukan impian yang muluk, karena saya tidak ingin apa-apa, bukan untuk memetiknya, namun memandangnya. Bukan impian yang muluk, hanya karena sebuah gambar di Buku 100 tanaman dilindungi di kawasan TNGGP. Sebuah gambar berisi pohon-pohon edelweis yang bergerombol, di padang rumput, berlatar bukit. Puncak Pangrango Kata orang, kita hidup dari mimpi. Maka saya menanamkan mimpi itu, seperti dulu saya menanamkan mimpi saya untuk pergi ke Oro-oro Ombo, padang rumput dan semak di Gunung Semeru, dan lagi-lagi hanya karena sebuah gambar di Majalah National Gographic Traveller, edisi 55 Pendakian Terindah. Seperti kata Donny Dirghantoro dalam novelnya, jika kita punya impian, maka gantungkanlah hanya 5cm di depan wajah kita, dan kita akan meraihnya. Pagi itu pukul 1 dini hari Sabtu, 29 Oktober 2011. Kemarin adalah hari Sumpah Pemuda. Saya sampai di Cibodas, pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bersama pecinta alam lain dalam mobil, saya sedikit kedinginan, saya memakai sarung tangan saya. Mobil menuju markas Indonesian Green Ranger. Disana setelah mendaftar, saya mendapat kabar mengejutkan. Bukan Gunung Gede yang akan menjadi tujuan kami, melainkan Gunung Pangrango. Kami memutuskan ikut kloter perjalanan jam 3 pagi, kami masuk dan beristirahat. Langit Mandalawangi Sebelum beristirahat, saya sempat melihat-lihat pajangan di dinding markas ranger tersebut. Ada penghargaan Mapala UI untuk Idhan Lubis, rekan Soe Hok Gie. Ada pula puisi tentang Mandalawangi karya Soe Hok Gie. Ada lagi puisi penghormatan untuk Soe Hok Gie dan Idhan Lubis yang mati di Mahameru. Setelah itu saya masuk ruangan istirahat. Ada kelompok lain yang bermain kartu, dan saya berpikir selama partner saya tidur. Lama berencana naik gunung Gede, dan terus diundur, akhirnya saya mendapat kesempatannnya. Pendakian bersama dan operasi bersih yang diadakan ranger tersebut. Teman saya yang mengabari acaranya, berkata Gunung Gede yang akan kami daki. Saya relakan acara seminar (yang sepertinya memang tidak jelas) yang akan diadakan pada tanggal bersamaan. Saya sudah membayangkan menjejakkan kaki di Surya Kencana. Tapi ternyata kali ini saya akan mendaki Gunung Pangrango. Artinya, bukan Surya Kencana, melainkan Mandalawangi. Kata partner saya, Mandalawangi lebih indah dari Surya Kencana. Kata senior saya yang amat mengidolakan Soe Hok Gie, Mandalawangi adalah tempat favorit Gie. Maka pagi itu yang semestinya saya tidur, saya tidak tidur. Membayangkan lembah kasih yang difavoritkan Gie sebagai tempat untuk menulis. Satu kalimat dari puisi Gie yang dipajang di depan ruangan yang membawa saya ke sana, puisi tentang Mandalawangi, tentang bunga-bunganya, serta jurang-jurangnya yang mengajarkan bahwa gambaran hidup adalah: terimalah, dan hadapilah. Jalan seperti got itu jalurnya Pukul 3 tepat setelah berdoa saya pelan menyusur jalan tepat di belakang ranger yang memimpin perjalanan. Sedikit mengobrol, ternyata ia juga mahasiswa UI jurusan teknik elektro angkatan 2008. Mengobrol sedikit soal UAS, sebelum ia dipanggil dari belakang untuk pelan-pelan. Kami yang di depan di suruh mendahului. Akhirnya partner saya berada di depan, memimpin jalan. Jalan dimulai dengan jalur batu yang menyulitkan dan melelahkan. Terus berjalan, terus berjalan. Kami kerap kelelahan. Kaki saya slip di batu dan ankle saya sakit. Membengkak sedikit, dan membuat perjalanan sedikit lebih lama. Jalurnya sangat menantang, pohon disana-sini, menghalangi jalan, tak jarang kami harus berjongkok, membungkuk, melompati pelan, atau memanjatnya. Target kami sampai pukul 12 siang, karena mungkin setelah itu hujan akan turun. Air panas Edelweis di Puncak Gunung Sekitar pukul 8 pagi, saya sudah diperingatkan di depan akan ada pos air panas. Sumber air panas sedikit berbahaya. Licin, dan panas. Berpegangan pada kabel-kabel adalah pilihan satu-satunya. Kaki saya sempat tercelup. Saya sudah memakai kaus kaki tebal. Namun mendidihnya air tetap bikin saya sedikit panik. Setelah melewati aliran air panas diatas batu-batu licin itu, kami beristirahat. Terlihat puncak Pangrango memanggil-manggil di balik kabut tipis. Jam 9 pagi, kami tiba di Kandang Badak. Kami mengisi perut. Jalur setelah itu bertambah sulit untuk rintangan kepala, namun untuk jalur kaki lumayan menyenangkan. Tidak ada jalur batu lagi. Namun kami harus banyak memanjat lagi. Akhirnya sekitar pukul 12 siang, kami sampai di Puncak Pangrango. Saya speechless. Saya duduk sebentar, menikmati kabut, pohon cantigi, dan gerombolan edelweis. Saya mendekat ke bibir jurang untuk melihat mereka. Cantigi, yang hanya tumbuh di puncak-puncak gunung, dan edelweis. cantigi Saya mencoba semacam buah berry. Setelah itu saya diajak turun sedikit. Saya disuruh menutup mata saya dan dituntun oleh partner saya. Dan ketika saya disuruh membuka mata, ia berkata "ini Lembah Mandalawangi." Saya speechless lagi. Lagi. Sekarang saya mengerti kenapa Soe Hok Gie menyukai tempat ini, bahkan abunya ditebar di lembah ini. Kabut tipis, suhu yang membuat kita tak banyak bicara, pucuk-pucuk edelweis yang bicara tentang keabadian, dan akhirnya kita hanya akan mendengar angin yang membelai lembut keheningan sekitar. Kami duduk. Hanya duduk dalam diam, sesekali bicara soal lembah ini, soal Gie, dan soal perjalanan kami. Kemudian diam lagi. Mengambil foto, lalu mencari spot untuk tenda. Pukul 2 atau 3 siang setelah tenda beres, hujan turun. Esok paginya kami agak terlambat mengikuti upacara sumpah pemuda. Namun tak mengapa. Saya kangen melakukan upacara. Setelah itu kami bergegas membereskan tenda dan pukul 9 pagi kami memutuskan untuk segera turun gunung. Perjalanan turun melelahkan, amat melelahkan. Dengkul partner saya juga kena. Kaki sudah letih, dan kami beristirahat sebentar di air terjun yang pernah menjadi lokasi film Gie. Tempatnya sepi. Kami merendam kaki lalu kembali melanjutkan perjalanan. Air terjun Sekitar pukul 11, kami bertemu teman partner saya, yang juga dulu bertemu di Semeru. Sambil bercanda dia sebel ketemu kami lagi. Kami lanjut turun, dan akhirnya sampai di warung langganan grup pecinta alam partner saya sekitar pukul 1 siang. Hujan kembali turun. Ternyata ada tujuan tertentu saya diajak kesana, semacam tradisi organisasi. Haha. Kami berdua kembali melihat puncak Pangrango berhias kabut yang mulai turun. Saya masih tidak percaya, semalam saya menginap di sana. Saya kembali teringat suara angin mendesir, hanya nafas yang menunjukkan bahwa kami ada di sana, dan edelweis yang seakan bicara dengan tanah dalam bahasa yang saya tidak mengerti. Ia tidak tumbuh tinggi, tapi mampu mengajak manusia memuji Tuhan di lembah Mandalawangi, dan menyentuh awan di puncak Gunung Pangrango.
Edelweis di balik kabut
"Kabut tipis pun turun pelan-pelan di Lembah Kasih. Lembah Mandalawangi. Kau dan aku tegap berdiri, melihat hutan-hutan menjadi suram, meresapi belaian angin yang menjadi dingin." [Soe Hok Gie]
Visit my another blog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H