Lihat ke Halaman Asli

Ibu Sekolah Pertamaku

Diperbarui: 30 November 2020   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ibu, sebuah nama yang bisa mengubah dunia anak - anaknya, ketika dia berucap pastilah menjadi do'a dan amarahnya menjadi sabda. ya..itulah ibu. kalau boleh aku bercerita, aku ini terlahir dari seorang perempuan desa yang Sekolah Menengah Pertama saja tidak lulus karena ibunya (nenekku) meninggal disaat ibuku masuk SMP, dia harus mengasuh 3 adiknya karena kakekku tak tahu pergi kemana. dalam kondisi ini dia berjuang antara sekolah dan mencari nafkah, tetapi semua tak bisa ia jalani terlalu berat bagi anak seumurannya. 

Pada usia 19 tahun ia menikah dan melahirkanku ditahun berikutnya, lima tahun berikutnya lahirla adikku. Sungguh usia yang sangat muda untuk menjadi seorang ibu. tetapi pengalaman hidup yang keras membuatnya sangat bijak dalam mendidik anak-anaknya. 

Ia hanya seorang ibu rumah tangga yang memiliki sedikit kesibukan, yaitu memiliki toko kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, meskipun sebenarnya upah ayahku sebagai pegawai BUMN sudah cukup untuk kami sekeluarga menurutnya ini hanya hobby untuk menghiburnya ketika kami tinggal sekolah dan Ayah kerja. Katanya,"jualan itu menambah saudara dan bersilaturrahmi".

Ibuku sosok wanita yang tidak banyak bicara, dia tidak pernah menyuruh aku untuk belajar tetapi setiap pulang sekolah dia memeriksa bukuku kemudian mendampingiku untuk mengerjakan tugas dari sekolah, begitu seterusnya ia lakukan sampai aku kuliah diperguruan tinggi. 

ia tidak pernah sekalipun membiarkan aku dan adik belajar tanpa didampingi, meskipun ia tak tahu seandainya kami mengalami kesulitan dalam belajar, ia selalu menjawab,"coba baca bukunya pelan-pelan pasti jawabannya ada di situ" itu yang selalu ia katakan. 

begitu juga ketika aku belajar menghadapi ujian dia ikut begadang dan yang membuatku terharu sering kali beliau berpuasa dan sholat malam untuk mendukung kami anak-anaknya saat ujian atau ketika suaminya sedang tugas luar Kota.

itulah ibuku bukan wanita berpendidikan tinggi, tetapi mendidik anaknya seperti layaknya wanita yang berpendidikan tinggi, tak pernah memarahi kami karena nilai sekolah kami jelek, tak pernah berkomentar kalau kita tidak juara lomba, tetapi selalu mendampingi kami dalam momen belajar.

ia tak pernah menuntut apapun dari anak-anaknya, ia hanya berpesan sekolah yang tinggi meski kalian wanita, agar hidupmu akan mulia di dunia dan nanti di akhirat. 

Wanita harus mandiri agar tidak tergantung orang lain, karena ketika kamu menikah tak selamanya bisa bersama suamimu, wanita harus tangguh dan kuat karena wanita sejatinya sebagai tonggak dan penyokong dalam keluarga. 

Sekarang aku menjadi seorang dosen Pendidikan Agama  di perguruan  tinggi swasta dan adikku juga sebagai dosen Keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan. 

Kami menjadi seperti sekarang karena melihat ibu sebagai madrasah kami, apa yang dikerjakan ibu, apa yang diucapkan ibu, bagaimana ibu memeperlakukan Ayah, bagaimana ibu tanpa kata-kata mendampingi kami belajar, tanpa kata pula ketika Ayah marah ia tetap melaksanakan tugasnya, tanpa kata pula ia merelakan semua perhiasannya dijual untuk biaya sekolah kami, bahkan sedihnyapun tak pernah kami lihat masa itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline