Lihat ke Halaman Asli

Tahu dan Tidak Tahu

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Media massa belakangan ini makin bebas. Meruyak nyaris setiap sudut hidup dan kehidupan kita. Bahkan gang buntu pun terpampang koran tempel. Dan bejibun manusia mengeruti.

Tak sedikit yang memelototi iklan. Lowongan kerja terutama. Dan di bawahnya bergelintir anak muda mencermati. Nyaris bola mata mereka menyusupi setiap kata. Dan mencatat.

Generasi sepuh mencermati berita Gayus. Polah tingkah pegawai pajak golongan tiga awal. Tak sedikit sembari menggerutu.

"Betapa kaya Indonesia," kata lelaki tua berkaca mata tebal. "Usia baru menginjak kepala tiga aja rekeningnya telah beratus milyar."

"Tak perlu takjub, mbah," kata yang lebih muda, di sampingnya. "Mereka yang bergelut dengan uang, pasti akan berlimpahan."

"Dan kesrimpet, terjerat," sahut yang lain, di tengah asyik masyuknya mencermati berita asian games. "Bukankah bermain air basah, bermaian api terbakar."

Sejak dulu selalu ada, bahkan bejibun. Hanya kita tidak tahu. Karena dulu media massa tak sebebas sekarang. Telpon pejabat lebih sering berdering di telinga redaktur.

"Hanya tahu," serobot lelaki berkaca mata tipis dan bertubuh kurus-tinggi-langsing. "Semakin kita tahu, semakin kita tidak tahu: Mengapa mereka tidak malu, bahwa ulah menyimpang mereka terpampang di depan bola mata yang menggaji mereka."

"Karena kemaluan mereka telah tergadaikan di gedung-gedung mesum," serobot lelaki berasrung. sembari terus memelototi iklan bioskop.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline