Lihat ke Halaman Asli

Alon-Alon Waton Klakson

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kalau Anda berkendara dan berhenti di perempatan Pingit, Jogja, kapan saja selain malam tenggelam, mencobalah untuk berhenti sejenak, sepenelanan ludah, meski lampu telah menyala hijau.

Kota-kota di Pulau Jawa terutama, belakangan ini kebanjiran kendaraan bermotor. Kandaraan tak bermsein perlahan-lahan tersingkirkan, terintimidasi. Taerutama dengan pola pengendaraan yang sebenarnya tak layak mengantongi surat ijin mengemudi.

Seperti kita mafhumi bersama, belakangan ini untuk memperoleh lisensi kepengemudian bukanlah perkara sulit. Asal Anda menggenggam rupiah yang melimpah, kertas sakral berlalu lintas itu mudah diraih. Bahkab berkembang adagium, kalau bisa dipermudah, mengapa harus memakai tes praktek dan terori berkendara di jalan raya?

Tak sedikit pengendara yang belum cukup usia dengan gagah menjelajahi wilayah yang kalau selip sedikit aja akan berdarah-drah itu. Bahkan bocah sekolah menengah pertama pun mulai menggaghi kendaraan yang pengemudiannya membutuhkan kestabilan emosi itu.

Apa yang Anda bayangkan ketika kelabilan mental yang menjarah-jarah darah muda, sedang jalan tak jua melebar dan volume kendaraan yang meruah? Tak seikit para pengendara pun terjajah oleh kendaraan bermsein itu.

Salah satu bentuk kelabilan mental tampak jelas dengan pemakaian klakson yang berlebih. Ketika Anda berhenti sejenak di perempatan meski lampu telah menyala jijau, maka derum mesin dan dseing klakson yang memekik-mekik akan menjeriti kebehentian Anda.

Dan pola pengintimidasin pengendara yang tergesa ketika kendaraan Anda mogok karena ketidak selarasan pelepasan kopling dengan penekanan gigi kian menggejala. Tak terkecuali ketika sore merayap mendekati gelap yang menatap.

Mereka bukan tergesa karena ingin cepat sampai tujuan dan bergegas menjalankan aktivitas kesehariannya. Namun sebenarnya mereka mengekspresikan kekesalan. Terutama ketika volume kendaraan kian meruah sedang jalan tak juga melebar dan jarum jam tak juga terhenti meski sejenak. Aapalagi tak diimbangi oleh jarak nyala antar lampu tak juga berjarak.

Pola lemahnya antisipasi jumlah kendaraan dengan lebar jalan dan interval lampu menyala nyars terjadi di negara-negara berkembang. Apalagi pemegang kebijakan terlena oleh empuknya kursi oleh tumpukan rupiah. Sedang lelah terus merajah-rajah.

Minimal ketika satu wilayah mulai bertambah arus lalu lintasnya, maka arah pulang dan balik akan bertambah interval kenyalaan lampu. Terutama ketika volume kendaraan mulai menumpuk di satu wilayah.

Akhirnya, wajah lalu linta sebuah wilayah kian nyata sebagai potret manusia penghuninya. Apalagi para pengendara lebih didasari emosi terhimpit, bukannya saling menghagai pengendara lain. Dan upaya pendominasian atau mengintimidasi pun menggejala. Ini tampak jelas ketika pengendara itu sampai di tujuan bukannya terus beraktivitas, melainkan sekedar ngerumpi, merokok atau membaca koran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline