Lihat ke Halaman Asli

Puspa Sari Dewi

A lifelong learner

Menilik Budaya Bertetangga di Balik Rusun Singapura

Diperbarui: 24 November 2021   15:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Condominium/rumah susunnya Singapura (Dokpri)

Memiliki luas wilayah yang terbatas, lebih dari 80% penduduk Singapura tinggal di kawasan perumahan yang dibangun pemerintah. Gedung tinggi menjulang berdiri di tengah kawasan kota Singapura. Bangunan-bangunan bertingkat itu merupakan rumah susun dengan pemandangan di sekitarnya yang tetap asri dan rapi.

Meski begitu, jangan membayangkan kehidupan di perumahan yang mereka miliki seperti kebanyakan di tanah air. Memang kondisi di sekitar rumah rusun ini begitu rapi, lingkungan tampak asri, ditambah lagi banyaknya ruang terbuka hijau yang mempercantik pemandangan. Namun, dalam budaya bertetamgga di sini tidak seperti negara kita.

Indonesia terkenal dengan cepatnya menyebar berita-berita yang sedang disorot. Bahkan berita-berita dari kalangan masyarakat sekitar pun cepat sekali terdengar oleh para tetangga dan desa-desa sebelah.

Hal ini dikarenakan kebanyakan warga Indonesia yang menganggur dan hanya menetap di rumah sehari-harinya. Sehingga mereka mudah untuk bersosialisasi dan berbincang-bincang renyah sampai hal yang ringan dan tidak penting pun selalu dibahas. 

Meskipun tidak semua warga kita yang menganggur, tetapi mereka menetap di rumah dengan membuka usaha rumahan, sehingga mudah untuk bercengkerama dengan tetangga.

Lain halnya di Singapura. Kota maju dengan 95% penduduknya yang sibuk di kantor, membuat budaya bertetangga menjadi tidak erat. Bahkan ini saya alami, tinggal di rusun yang mana dalam satu lantai terdiri dari enam rumah, tetapi kami tidak saling sapa saat berjumpa. 

Hanya memberi salam saja (good morning / good afternoon) yang sudah membudaya dengan greetings tanpa adanya percakapan basa-basi. Padahal, rumah kami saling berhimpitan. Hanya satu dinding pembatas saja yang memisahkan.

Awalnya saya pikir mereka sombong, tetapi seiring berjalannya waktu lamanya stay di negara ini, saya semakin paham. Jangankan mereka yang bekerja di kantor, bagi yang work from home pun tetap saja menutup pintu selama 24 jam meskipun mereka ada di dalam rumah. 

Budaya bertetangga di kota maju ini benar-benar lemah, karena mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak ada waktu untuk sekadar mengobrol ringan dengan tetangga kanan kiri meskipun rumah saling menempel.

Di rumah susun yang satu dinding saja budaya bertetangganya lemah, apalagi mereka yang tinggal di perumahan pribadi, yang mana pagar tinggi sebagai pemisah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline