Lihat ke Halaman Asli

Beban Ekonomi dan Biaya Layanan Kesehatan Program Tuberkulosis di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13599599751114286783

Oleh  dr. Firdaus Hafidz* dan Rifka Sibarani** File presentasi dapat diunduh melalui link ini Biaya Layanan Tuberkulosis Indonesia harus memiliki komitmen untuk mandiri dari donor, terutama Global Fund (GF). Pernyataan sikap tersebut disampaikan serempak oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit, Penyehatan Lingkungan Kementerian (PP&PL), Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PP&ML) dan Kementerian Kesehatan RI. Komitmen untuk mandiri dari donor tersebut juga diterapkan pada keberlanjutan pembiayaan program penanggulangan tuberkolosis di Indonesia. Pendanaan Global Fund (GF) secara bertahap akan mengurangi pendanaannya sering dengan meningkatnya ekonomi Indonesia ke dalam kategori negara lower-upper middle income. Meskipun perwakilan dari USAID pada pertemuan rapat koordinasi (16/1) mengatakan bahwa Global Fund tidak akan pergi dari Indonesia, namun pendanaan akan lebih fokus pada area strategis dalam mengisi gap. Pemerintah mengharapkan, pada tahun 2016, 80% dari seluruh kebutuhan pendanaan untuk pelayanan program tuberkulosis dapat bersumber dari domestik.  Pemerintah telah menyusun tiga kunci strategis dalam menghadapi keberlanjutan pembiayaan program TB, yaitu dengan meningkatkan alokasi pembiayaan pemerintah baik pusat maupun daerah, meningkatkan pembiayaan asuransi dan kontribusi swasta sebagai contoh CSR serta penerapan program secara cost-effectiveness dan efisien. Oleh sebab itu, diperlukan informasi biaya pelayanan program TB dan beban ekonomi TB di Indonesia.  Management Science for Health (MSH) bersama Kementerian Kesehatan Indonesia telah membangun sebuah alat simulasi perhitungan yang sederhana yang transparan. Harapannya alat simulasi tersebut akan mudah digunakan bagi pemerintah daerah maupun LSM yang bergerak di bidang TB sebagai alat advokasi. ***Metodologi yang digunakan dalam simulasi ini adalah dengan memperhitungkan seluruh biaya langsung pelayanan berdasarkan standar pelayanan TB dan biaya-biaya tidak langsung seperti kegiatan preventif dan promotif program TB berdasarkan pengeluaran Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Jawa Tengah. Hasil dari biaya tersebut kemudian disesuaikan dengan epidemiologi dan targetnya hingga tahun 2021 (lihat gambar 1) [caption id="attachment_233964" align="aligncenter" width="300" caption="Gambar 1.1 Metode Alat Hitung Yang Dikembangkan oleh MSH dan Kementrian Kesehatan Indonesia"][/caption] Metode penghitungan biaya pelayanan TB tersebut menggunakan asumsi sebagai berikut: ·         Semua asumsi pembiayaan dapat sepenuhnya disesuaikan dan mudah diperbaharui dalam alat penghitungan ·         Hitungan berdasarkan data 2011 dan diproyeksi hingga tahun 2021 ·         Dalam simulasi hitungan ini, laju pertumbuhan masyarakat tahunan adalah 1% ·         Biaya inflasi nasional adalah 4.5% ·         Biaya ditampilkan dalam US dolar ·         Biaya dari biaya rawat inap pasien untuk sementara menggunakan tarif yang dikumpulkan dari rumah sakit Berdasarkan asumsi dan model penghitungan di atas, maka peneliti memproyeksikan bahwa : 1)       Proyeksi Kasus dan kejadian TB  2011- 2015 Berdasarkan penghitungan dengan menggunakan simulasi di atas, dan data yang di tahun 2011,  tim peneliti memproyeksikan bahwa hingga tahun 2015 akan terjadi penurunan insidensi TB yang diikuti dengan peningkatan penemuan kasus TB (Case notification rate).

1359960184414353985

1359960257727106355

1359960331872439197

2)       Proyeksi Komponen Biaya Layanan Kesehatan (Service Delivery Cost in US$)

13611920271396471936

Sedangkan biaya per kapita program TB, proporsi untuk obat TB dan MDR-TB dan pelayanan Monitoring TB dan MDR-TB semakin lama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kasus dan inflasi.

13611923211719269112

Program TB dan BPJS Tim peneliti menyusun 3 skenario terkait dengan cakupan BPJS bagi kasus TB. Skenario tersebut juga berdasarkan pada proyeksi roadmap BPJS—40% ditanggung saat ini dengan gabungan dari Jamkesmas, PT. Askes dan Jamsostek  hingga mencakup 100% di tahun 2019. 1)       Skenario 1: BPJS menanggung seluruh layanan TB di fasilitas kesehatan, termasuk obat TB dan MDR-TB, laboratorium, dan lainnya. Dalam skenario 1 dapat dilihat bahwa dengan cakupan yang semakin besar, maka beban biaya BPJS akan menjadi semakin besar pula.

13599606741805018937

2)       Skenario 2 merupakan skenario dengan pelayanan TB ditanggung sepenuhnya oleh BPJS kecuali obat TB dan MDR-TB serta reagen untuk diagnostic TB.. Dapat dilihat bahwa diagnostik dan obat sangat besar biayanya.

13599608101444307282

3)       Skenario 3 yaitu, pelayanan TB di fasilitas kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh BPJS kecuali obat TB dan MDR-TB yang ditanggung oleh pemerintah. Dalam skenario ini, semakin lama beban BPJS akan semakin besar akibat dari semakin besarnya cakupan pelayanan untuk MDR-TB. Pada akhirnya, total biaya tersebut diproyeksikan kurang lebih mencapai 50% - 50% antara pemerintah dan BPJS.

1359961103568544359

Berbicara  tentang biaya per kapita, Pemerintah pasti akan membiayai orang-orang yang belum tercakup dalam BPJS dan seluruh penduduk termasuk yang tercakup dalam BPJS untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya upaya kesehatan masyarakat (UKM) atau komponen-komponen tertentu dalam pelayanan TB. Sedangkan BPJS hanya akan menanggung beban biaya dari anggota BPJS. Dampak baya per kapita di tahun 2014 dapat dilihat pada gambar berikut:.

1359961225216668063

Sebagai tambahan, selama ini obat-obat yang disediakan oleh pemerintah maupun donor kemungkinan besar tidak dihitung dalam perhitungan premi yang hendak ditetapkan dalam jaminan kesehatan nasional,  Di masa mendatang, pembiayaan jaminan kesehatan nasional yang dikelola BPJS bersama–sama dengan pembiayaan pemerintah. Oleh sebab itu Firdaus Hafidz menyampaikan  perlu adanya koordinasi yang kuat antara program TB dengan BPJS dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan TB ke depan. Hal ini  menjadi kunci penting dalam pelaksanaan program TB dan asuransi kesehatan berdasarkan pengalaman dari beberapa Negara yang telah melaksanakannya secara bersama. Beberapa isu terkait pelayanan TB melalui program asuransi adalah mengenai mekanisme pembayaran fasilitas kesehatan. Apakah pembiayaan TB di fasilitas kesehatan primer termasuk dalam kapitasi?Apakah kegiatan preventif seperti case-finding dapat juga menjadi paket manfaat yang kemudian dibayar secara fee-for-service? dan apakah tarif pembayaran INA-CBGs yang ada saat ini sudah sesuai dengan beban fasilitas kesehatan?. Di sisi lain, akreditasi terhadap fasilitas kesehatan yang akan dikontrak oleh BPJS juga menjadi titik penting untuk memastikan kualitas pelayanan TB. Oleh karena itu, diperlukan alat kredential yang sesuai dengan program TB atau adanya kredential khusus oleh program TB nasional dalam pelayanan TB. Model Beban Ekonomi Tuberkulosis Model ini memperhitungkan beban biaya eknomi akibat penyakit TB dengan melihat alur kejadian dan biaya yang timbul baik pasien yang diobati maupun tidak diobati. Jenis biaya yang diperhitungkan adalah 1) biaya medis TB dari pasien yang dirawat (medical cost of patient treated); 2) beban biaya rumah tangga untuk pasien yang diobati (household cost of patient treated); 3) kerugian produktivitas akibat disabilitas (loss of productivity due to disability); serta 4) kerugian produktivitas akibat kematian prematur (loss of productivity due to premature death). Semakin tinggi rasio case  notifications rate dan insidens maka semakin rendah total beban biaya ekonomi TB.. Dari 40 triliun rupiah (4 Milyar USD) dengan rasio 5%,  menjadi sekitar 5 triliun rupiah (500 juta USD) pada rasio 95%. Indonesia yang saat ini berada di sekitar posisi 75%, meskipun tergolong cukup baik, beban ekonomi yang masih mesti ditanggung sebesar 1,3 juta USD dengan komposisi beban paling besar adalah sektor kematian prematur (loss of productivity due to premature death) yang mencapai 1,16 juta USD. Model juga dapat membandingkan beban biaya per orang antara yang mendapat perawatan dan tidak mendapat perawatan TB. Beban kematian prematur pasien TB yang tidak mendapat perawatan dapat mencapai 20 kali lipat ($8.800) dari pasien yang mendapat perawatan. Hal yang sama juga terjadi pasien MDB-TB—beban biaya pasien yang tidak mendapat perawatan 7 kali lipat lebih besar ($14.333) Penutup Dengan estimasi adanya 443.000 kasus TB/ tahun. Setiap pencegahan kasus TB dapat menghemat beban biaya yang dikeluarkan pemerintah. Untuk penyakit TB, dengan memperkuat pencegahan kasus, maka dapat menghemat biaya sistem kesehatan hingga  mencapai $171 dan mengemat pengeluaran keluarga hingga $791. Sedangkan untuk MDR-TB, biaya yang dapat ditekan mencapai $4,972 dan beban keluarga mencapai $4,077. Oleh karena itu, pembiayaan TB yang hanya kurang lebih sebesar $20 cents per kapita dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menurunkan kasus TB menjadi MDR-TB, melindungi individu dari kemiskinan,  dan membangun ekonomi bangsa Indonesia (lihat gambar di bawah).

13599613341493333175

*Penulis adalah peneliti dari Pusat KPMAK. Tuberkulosis telah menjadi perhatian dr. Firdaus Hafidz sejak beliau memulai karir sebagai peneliti di bidang pembiayaan kesehatan. dr. Hafidz juga aktif di organisasi pengendalian  TB di Indonesia ** co-author adalah staf media di Pusat KPMAK ***Model dikembangkan bersama peneliti dari Pusat KPMAK Fakultas Kedokteran  UGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline