Lihat ke Halaman Asli

Elegi BOP-B UI: Risalah Habermas

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Be the change you want to see in the world_Mahatma Gandhi

Pertama dan terutama, apakah tulisan ini akan menjawan kegamangan tentang BOP-B? jawabannya-mungkin akan terdengar sangat tidak kontemporer-tidak. Walaupun sedikit banyak dapat dikaitkan secara teoritis dengan isu mainstream yang tengah menggoyang kampus perjuangan kita ini, tulisan ini tidak lebih maupun kurang merupakan sebuah rekonstruksi dan pada ujungnya, dengan kebesaran hati untuk dikritisi dan sedikit minum kopi (mengingat waktu pembuatannya yang di tengah kantuk) dipersembahkan untuk bersama memahami satu hal: mengapa masih saja kita (semoga penulis tidak sedang terlalu percaya diri dengan menggunakan terminologi kita) berada dalam keadan kita hari ini.

Habermas, tokoh yang satu ini sungguh menginspirasi ketika ia dengan gagah berani mampu keluar dari indoktrinasi teori kritis klasik serta menyeruak dengan pemikirannya. Habermas memperkaya telaah intensif generasi adorno dan horkheimer beserta para rekan sejuang mereka atas kritik masyarakat modern dalam kajian komunikasi massa secara filosofis dan politis dengan sebuah justifikasi epistimologis yang lebih dari sekedar teori, juga bersifat kritis. Tentu tidak akan cukup sebuah tulisan ini untuk membedah perkara ini secara holistik, kali ini penulis hanya akan coba untuk mengkontekstualisasi beberapa variabel yang vital. Mari kita awali dengan ungkapan habermas di bukunya, Communication and Evaluation of Society yang menegaskan tentang pentingnya sebuah pemahaman, ia bahkan menyebutnya sebagai sebuah tugas pragmatik universal. Pertanyaan kuncinya, apa itu pemahaman? menurut beliau, pemahaman dapat dirancang dari dua hal, yaitu mutualitas dan intersubjektivitas, artiya secara sederhana, pemahaman kita atas sebuah objek, keadaan maupun entitas, rancang bangunnya tidak boleh berangkat dari sebuah fasted interest melainkan secara adil, juga mempertimbangkan keinginan pihak lain untuk diuntungkan. Lebih tajam, pemahaman yang baik, mau tidak mau juga harus terdekomposisi menjadi pemahaman-pemahaman subjektif yang dalam suatu titik telah mencapai sebuah subjektivitas kolektif. Hal ini terlebih harus diterapkan ketika kita berhadapan dengan sebuah isu yang melibatkan begitu banyak hati manusia di dalamnya, bukan sekedar sistem, bukan sekedar angka, namun juga mimpi dan harapan, cita dan cinta. Contohnya? BOP-B.

Berikutnya tentang komunikasi itu sendiri sebagai sebuah jalan menuju pemahaman. Didasari oleh pernyataan habermas berikutnya bahwa berdasarkan konteks budaya para partisipan dalam proses komunikasi beserta segala instrumen subjektif yang terlibat di dalamnya, komunikasi merupakan sebuah negosiasi atas latar belakang budaya bersama, tidak bisa tidak, dalam proses komunikasi demi mengutuhkan pemahaman kita, kita harus memahami segala potensi perbedaan paradigmatik yang mungkin tercipta dan menjadikannya landasan atas gerak kita. Kita tidak bisa menjadi seorang materialis yang hanya melihat serta menelaah yang ada, namun juga harus melibatkan dan menghitung faktor-faktor transenden yang mampu kita identifikasi, sebagai contoh, rasa trauma dan sakit hati di masa lalu yang bersarang dalam jiwa orang lain.

Menyoal budaya sendiri, habermas berpendapat bahwa budaya-demi kian meneguhkan paparan sebelumnya-merupakan reservoir pengetahuan yang dari dalamnya, seseorang akan mengambil, menyimpulkan bahkan memilih interpretasinya atas sesuatu. Dari proses inilah masing-masing partisipan kemudian meneguhkan kelompok sosialnya dan secara solider berdasarkan kompetensi yang mereka miliki untuk berpartisipasi dalam proses pemahaman, kemudian mencapai pemahaman itu sendiri. Harus dipahami, sebelum melangkah lebih jauh bahwa kompetensi di sini bukanlah berbasis pada kompetensi teknis semata, seperti pengetahuan atau penguasaan atas sumber informasi (data maba sebagai contoh), apalagi perbedaan status antara yang berpunya dengan yang miskin serta antara birokrat rektorat dan mahasiswa. Kompetensi di sini mengacu juga pada daya tawar satu partisipan terhadap yang lain, atau secara sederhana adalah seberapa kita akan didengar oleh pihak yang lain. Sebelum tercapai equilibrium latar belakang budaya beserta konstruksi pendukungnya sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka proses komunikasi yang tercipta tidak akan berlangsung secara egaliter satu rasa satu karsa, sebaliknya akan ada pihak atau partisipan yang mendominasi yang lain. Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika titik equilibrium itu tidak kunjung tercipta? Pilihan satu-satunya pada suatu saat di mana perbedaan sudah tidak dapat disatukan lagi adalah meningkatkan kompetensi kita hingga kita akan mampu meneguhkan kelompok sosial kita sendiri. Pada kondisi ini, proses komunikatif dibangun atas dasar saling menghormati keteguhan masing-masing, bukan atas variabel-variabel paradigmatik yang dielaborasi bersama.

Kesimpulannya, perkara BOP-B hanya akan selesai ketika semua pemangku kepentingan telah sadar untuk saling mencari pemahaman besama, bukan pemahaman ideologis individu, atau kepentingan golongan tertentu, inilah dasar menuju mutualitas dan intersubjektivitas, sehingga tanpa syak wasangka serta egoisme berkedok penjagaan harga diri, akan lahir kebijaksanaan kolektif dalam melihat persoalan dari berbagai sudut pandang. Hal ini tentu baru akan tercipta ketika proses komunikasi yang mendasarinya telah secara utuh berpulang pada hakikat sejatinya sebagai sebuah proses perdamaian terhadap latar belakang budaya masing-masing. Setiap persepsi, interpretasi maupun asumsi harus dipertimbangkan. Persepsi negatif rektorat atas gerakan BOP-B tahun-tahun sebelumnya, interpretasi yang berbeda atas data maba yang disurvei dan kemampuan bayarnya serta asumsi-asumsi yang meliputi proses ini di sana dan sini, kesemuanya merupakan pecahan-pecahan kecil gugus gemintang kebenaran. Akhirnya, perdamaian dalam ruang tatanan berpikir pun tidak akan berfungsi bila tidak disesuaikan dengan polarisasi faktor-faktor sosiologis yang turut terlibat dalam pencarian pemahaman, salah satunya yang paling signifikan, perbedaan kompetensi partisipatif dan bargaining power yang dimiliki oleh satu partisipan terhadap partisipan lainnya.

Dipersembahkan untuk para pejuang, dan bintang itu, semoga bersinar kian terang.

Haryo wisanggeni/staf ahli pendidikan dan kebijakan kampus PUSGERAK BEM UI 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline