Lihat ke Halaman Asli

Mengurai Benang Kusut Kebijakan Subsidi BBM

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Permasalahan APBN selalu saja menjadi pembahasan yang menarik. Berbagai kalangan pasti akan memberikan perhatian khusus terkait hal yang satu ini. Eksekutif, Pengusaha, Politisi, Anggota Dewan, dan Mahasiswa adalah beberapa stakeholder yang kerap memberikan perhatian cukup serius tentang APBN.

APBN memang memiliki peran yang penting dan strategis. APBN dapat menggambarkan rencana dan tujuan pembangunan sebuah negara minimal dalam satu ke depan. APBN juga sering dijadikan acuan oleh para investor dan pelaku pasar untuk menganalisis prospek perekonomian setahun ke depan. Selain itu, perencanaan pendapatan dan belanja negara juga tersurat dalam APBN.

Begitu pentingnya APBN membuat segala isu atau wacana terkait APBN akan menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan dan diperdebatkan. Salah satu isu yang paling menarik dan menjadi pro-kontra dalam APBN adalah isu subsidi, terutama subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Akhir-akhir ini, isu subsidi BBM kembali menyeruak. Kali ini yang menjadi pembahasan adalah wacana Pemerintah untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi (premium). Pembatasan penggunaan Premium diperuntukkan bagi kendaraan bermotor roda dua (motor).

Pemerintah dalam penjelasannya memaparkan bahwa tujuan utama pembatasan penggunaan Premiun bagi motor adalah untuk mengurangi angka kemacetan. Kebijakan kontroversial ini sontak membuat masyarakat terkejut. Masyarakat bertanya-tanya kenapa kebijakan seperti ini yang akan dipilih, apakah tidak ada alternatif kebijakan yang lebih efektif untuk mengurangi kemacetan?

Pemerintah berpendapat bahwa salah satu penyebab kemacetan adalah jumlah kendaraan yang tak terkendali. Banyaknya kendaraan praktis membuat lalu lintas menjadi semakin padat dan semerawut. Belum lagi ditambah ketidakdisiplinan para pengemudi yang memperparah benang kusut permasalahan kemacetan, khususnya di Ibukota.

Wacana pembatasan pemakaian BBM terhadap premium bagi motor dirasa kurang tepat. Pemerintah seolah tidak memahami betul alasan utama dan mendasar kenapa sulit sekali untuk mengurai benang kusut kemacetan di Ibukota. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemacetan di Ibukota.

Pertama, sarana transportasi umum yang kurang memadai. Sarana transportasi publik di Indonesia pada umumnya dan di Jakarta pada khususnya memang sangat mengenaskan. Transportasi publik memiliki citra buruk di mata masyarakat. Tidak aman dan nyaman, mahal, dan aksesibilitas adalah alasan utama mengapa masyarakat enggan memilih transportasi massal.

Kedua, mudahnya memiliki kendaraan baru. Merebaknya jasa kredit kendaraan bermotor mempermudah masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor kini tidak lagi dimiliki oleh kalangan atas saja, namun sebagian besar masyarakat kini telah memiliki kendaraan bermotor.

Ketiga, kebijakan BBM yang kurang tepat. Sebagaimana kita ketahui harga BBM di Indonesia berada di bawah harga pasar. Konsekuensinya adalah Pemerintah harus memberikan subsidi sehingga harga jual BBM di masyarakat berada di bawah harga pasar. Salah satu dampak dari rendahnya harga BBM adalah konsumen kurang bijak (baca: boros) dalam menggunakan BBM.

Dari ketiga permasalahan tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. Pertama, Pemerintah sebaiknya menarik keinginannya untuk membatasi penggunaan premium bagi pengguna motor. Kebijakan ini kurang efektif untuk mengatasi kemacetan. Sebaiknya Pemerintah membuat peraturan mengatur tentang kredit kendaraan bermotor di Indonesia. Selain itu, kebijakan pajak progresif untuk kendaraan bermotor juga dapat dijadikan opsi cadangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline