Lihat ke Halaman Asli

Langkah Mundur Deregulasi Kebijakan di Indonesia

Diperbarui: 12 Mei 2017   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui  Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi, mengungkapkan bahwa Presiden menghormati putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatalan wewenang Menteri Dalam Negeri untuk mencabut peraturan daerah. "Presiden menghormati apa yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Johan Budi di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (7/4/2017).

Awal bulan Mei lalu MK mengabulkan pengujian Pasal 251 ayat (2), (3), (4), (8) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diajukan APKASI bersama 45 Pemkab. Dimana MK menyatakan, aturan mekanisme pembatalan perda kabupaten/kota oleh gubernur dan mendagri inkonstitusional alias bertentangan dengan UUD 1945.

Kondisi ini sangat kontradiktif dengan upaya yang dilakukan Presiden pada pertengahan Juni 2016 lalu, dimana Pemerintah telah melakukan deregulasi terhadap 3.143 Peraturan Daerah (Perda) secara nasional, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pencabutan wewenang Mendagri ini memicu kegaduhan dan serangkaian pertanyaan teradap proses deregulasi yang telah dilakukan sebelumnya. Sehingga muncul berbagai kegelisahan terhadap kemunduran proses deregulasi kebijakan.

Bagaimana Implikasi Proses Deregulasi?

Putusan MK menjadi titik balik bagi proses deregulasi kebijakan di Indonesia. Saat ini banyak pihak mempertanyakan bagaimana nasib ribuan kebijakan yang telah dipangkas. Serta bagaimana kelanjutan intervensi pemerintah terhadap ribuan kebijakan lain yang cenderung bermasalah, tumpang tindih serta memberikan dampak buruk terhadap iklim invetasi dalam negeri. Juru Bicara MK Fajar Laksono mengingatkan bahwa Mendagri tidak bisa lagi membatalkan Perda Kabupaten/Kota (executive review)seiring terbitnya putusan MK tersebut (hukumonline, Sabtu (8/4/2017). Namun, kontrol gubernur dan Mendagri sebagai wakil pemerintah pusat tetap bisa dilakukan melalui evaluasi Rancangan Perda Kabupaten/Kota (executive preview). Banyak pihak memandang dengan mengembalikan kewenangan pembatalan Perda pada MA merupakan upaya yang sia-sia, sebab MA cenderung tidak akan mampu untuk menerima beban kewenangan tersebut. Apabila dilihatkan tunggakan Perda sampai 2015 setidaknya sudah mencapai 25 ribu Perda (bermasalah), bisa dibayangkan juga bila beban ini ditanggung MA.

Dengan adanya putusan MK ini, langkah pemerintah untuk memangkas ribuan kebijakan menjadi semakin panjang. Menilik kembali tujuan pemerintah dalam deregulasi kebijakan adalah untuk memperbaiki kualitas kebijakan dan iklim investasi, maka seharusnya dengan adanya pembatalan 3000 perda merupakan suatu preseden positif. Namun alih-alih justru menimbukan kegaduhan di daerah, yang kemudian berujung tuntutan sejumlah pihak kepada MK.  

Ide pemerintah untuk melakukan deregulasi kebijakan sebetulnya merupakan konsep yang sangat baik, namun melihat kondisi yang ada saat ini pemerintah perlu memperbaiki mekanisme pembatalan berbagai kebijakan. Berbagai negara telah melakukan deregulasi kebijakan dengan berbagai mekanisme, salah satunya melalui Teknik The Guillotine Process.Teknik ini merupakan suatu proses penyederhanaan dalam regulasi sebagai suatu strategi yang ‘cerdas’ dimana proses tersebut dilakukan dengan cara yang transparan dalam menghitung serta mengkaji biaya administrasi dan politik berbagai regulasi.

Teknik The Guillotine Process merupakan bentuk reformasi regulasi demi terwujudnya better regulation dan prosesnya membutuhkan waktu yang relatif cukup singkat. Berdasarkan pengalaman dari negara-negara yang sudah melaksanakan teknik ini, hanya diperlukan 18–30 bulan saja waktu untuk melakukannya. Upaya mengurangi jumlah regulasi melalui teknik ini telah diterapkan di beberapa negara seperti Vietnam, Korea, Meksiko, Kenya, dan Ukraina. Hasil capaian penyederhanaan regulasi melalui The Guillotine Processyang cukup signifkan terjadi di Korea, dimana dalam kurun waktu 11 bulan, tingkat eliminasi regulasi mencapai 48,5%.

Mencari Bentuk Ideal Deregulasi Kebijakan

Kegaduhan pasca putusan MK ini jika dilihat lebih mendalam sebetulnya menginginkan pemerintah memperbaiki mekanisme pembatalan berbagai kebijakan. Proses pembatalan kebijakan ini sudah seharusnya melalui teknis dan proses yang lebih baik dan hati-hati, karena melibatkan berbagai pihak. Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan bahwa dalam melakukan deregulasi kebijakan aspek penting yang harus diperhatikan adalah pelibatan pihak yang terkena deregulasi dengan memberikan kesempatan melakukan self assessmentterhadap kebijakan yang dirasa bermasalah dan potensial untuk dibatalkan. Sebelum melakukan self assessment, pemerintah pusat perlu menetapkan kuota deregulasi bagi masing-masing daerah yang dirasa kebijakannya bermasalah. Berikut adalah gambaran alur ideal mekanisme deregulasi kebijakan.

Mekanisme ini mungkin dapat dipertimbangkan menjadi salah satu alternatif dalam sistem deregulasi kebijakan di Indonesia. Dimana dalam implementasinya mekanisme ini memang perlu disesuaikan dengan karakteristik maupun aktor-aktor kebijakan baik di pemerintah daerah maupun pusat. Sehingga melalui konsep ini dapat diminimalisir terjadinya berbagai gejolak sebagai dampak deregulasi kebijakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline