Lihat ke Halaman Asli

Purwanto Hadi

Guru dan Penembang Jawa

Kurikulum 2013 Bukan Solusi Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389426239445874858

[caption id="attachment_289538" align="aligncenter" width="640" caption="Siswa Praktek di Lapangan (dok. pribadi)"][/caption] Salah satu problem utama pendidikan di Indonesia adalah kualitas tenaga pendidik yang relatif rendah. Sebagian besar kalangan mengatakan, mestinya ini yang harus di garap oleh Kemdikbud. Mengingat posisi strategis pendidik dalam memajukan pendidikan, mengesampingkan untuk ‘mengupgrade’ kemampuan mereka adalah suatu kenaifan. Sebelum kelahiran K-2013 sebenarnya ada program Kemdikbud yang sangat strategis. UKG (Uji Kompetensi Guru) layak kita apresiasi sebagai sebuah upaya untuk memetakan kualitas guru di Indonesia. Teknik UKG online ‘memaksa’ sebagian besar guru kalang kabut mempersiapkan diri, mengingat kemampuan teknologi informasi (TI) mereka masih sangat rendah, kalau tidak mau dikatakan memprihatinkan. Skor hasil UKG nasional yang ‘hanya’ rata-rata 43, seolah menjustifikasi hipotesa sebelumnya bahwa kualitas pendidik di Indonesia memang sangat-sangat rendah. Respon atas hasil UKG dengan akan diadakannya diklat guru secara nasional berbasis nilai UKG sebenarnya sangat strategis. Sayang, program bagus itu layu sebelum berkembang. Pada awalnya bergaung, kemudian sayup-sayup lantas lenyap tak terdengar.

Tidak ada angin tidak ada hujan, masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan dikejutkan dengan akan dikeluarkannya sebuah kurikulum baru bernama kurikulum 2013. Kelahirannya yang terkesan tiba-tiba membuat sebagian kalangan curiga. Ini dituding sebagai sebuah proyek semata, mengingat anggaran yang diajukan Kemdikbud sangat fantastis hingga ratusan milyar rupiah.

Sebuah masyarakat terdidik, mestinya mendasarkan sebuah kebijakan pada sebuah kajian. Inilah kritik pertama saya. Hingga tulisan ini saya tulis, saya belum menemukan referensi tentang evaluasi kurikulum sebelumnya (KBK/KTSP). Adalah ironi apabila kita mengganti sesuatu, tanpa tahu kelebihan dan kekurangan yang akan diganti. Bagaimana mau menambal kalau kita tidak tahu bagian mana yang bocor? Bagaimana mau mengecat kalau kita tidak tahu bagian mana yang sudah pudar?

Kelahiran K-2013 layak disebut sebagai kurikulum top down. Artinya kebijakan ini memang seolah-olah turun dari langit tanpa mendasarkan kebutuhan di lapangan. Saya yakin sekali bahwa banyak ahli, banyak profesor yang membidani kelahiran K-2013. Menurut saya, kurikulum baru ini didasarkan pada pemikiran teoritis konseptual semata, bukan kajian lapangan. Setelah saya baca kurikulum baru itu, saya harus angkat topi. Menurut saya yang bodoh ini, kurikulum itu bagus sekali. Namun sayang, bukankah yang kita hadapi sekarang adalah problem rendahnya kualitas guru? Bukan rendahnya kualitas kurikulum? Nah, ibarat orang sakit maag, mengapa diberi obat masuk angin? (mr.poor12)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline