Masih jelas dalam ingatan, tulisan ini menjadi viral sekaligus menjadi Artikel Utama di Kompasiana. Judul artikel itu adalah Pak Jokowi dengan Sirene. Saya tulis pada tanggal 25 Desember 2016, hampir 3 tahun yang lalu.
Dibaca oleh lebih dari 154,000 pembaca rasanya saya ikut menebar kebaikan. Menyuarakan sekaligus meceritakan seorang sosok yang sebelumnya hanya dipandang sebelah mata. "Bagaimana dngan saat ini?", bagi para pembenci Jokowi mungkin akan tetap sama. Kasihan mereka, ibarat besi sudah berkarat. Perlu cairan tertentu untuk menyiram besi itu sehingga karatnya bisa mengelupas.
Hak masing-masing orang untuk menyukai atau membenci seseorang. Namun jika itu tidak berlaku umum, rasanya ada yang lain dalam hidup kita.
By the way, kembali ke topik diatas. Saya ingin menyampaikan pendapat pribadi. Konsentrasi Sumber Daya Manusia yang dicanangkan oleh Pak Jokowi dan diturunkan kepada Para Menterinya adalah bukti nyata keseriusan-nya untuk meningkatkan kualitas SDM rakyat Indonesia. Hal ini juga ditunjukkannya dengan mengalokasikan dana terbesar ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pak Jokowi mengatakan: "Fokus kita adalah peningkatan kualitas SDM". Pernyataan ini terartikulasi dalam Anggaran Belanja Negara, APBN yang dialokasilikan sangat besar ke Pendidikan, Rp. 505 Triliun. Paling besar dari anggaran Negara. Terbesar kedua adalah menciptakan kemanjuan sosial budaya sebesar Rp. 320 Milyar. Kemudian, dana untuk kesehatan sebesar Rp. 123 Triliun. Alokasi dana yang sangat besar itu sebagai bukti keseriusan. Pengelolaan dana yang sangat besar ini pun diberikan tanggung jawab kepada seorang Nadiem Makarim, seorang entrepreneur muda yang sangat berhasil. Apalagi untuk mengatur aliran dana ini ke tangan Ibu Sri Mulyani. Klop sudah, kita tinggal menantikan gebrakannya.
Kembali ke Sirenenya Pak Jokowi, saya melihat itu sudah jadi good habitual beliau. Kebiasaan itu masih dibawa hingga saat ini. Suara Sirene itu tidak penah terdengar dari rombongan yang membawa Presiden. Istilahnya, meski dia layak dan berhak mendapatkannya tapi dia tidak merasa perlu menikmatinya.
Dia terbiasa untuk berangkat pagi-pagi, menikmati jalanan yang ramai dan melihat dan merasakan sendiri kemacetan. Priviledge sebagai seorang Presiden di jalan raya tidak menjadi keharusan baginya. Bisa saja dia berangkat kesiangan dari Istana Bogor, lalu mengarahkan pengawalan dan bunyikan Sirene yang memekakkan telinga itu dijalanan, itu haknya. But, he didn't do that. Kuburkanlah istilah pencitraan yang selama ini dilontarkan padanya, itu sudah basi.
Contoh baik yang sudah ditunjukkannya, semoga terus melekat. Menjadi surat yang hidup dan tertulis yang bisa dipandang oleh siapa saja yang mengamatinya. Biasanya pesan orang yang sudah melakukannya sendiri lebih powerful dibandingkan dengan hanya mengumbar kata-kata tanpa terefleksi dalam kehidupan nyatanya.
Pak Jokowi dengan mentalnya sudah membuktikannya. Dia yakin merubah mental itu tidak gampang. Apalagi untuk sebuah Negara yang sangat besar seperti Indonesia.
Kita lihat dan tunggu hasilnya 5 tahun mendatang. "Masihkah ada yang membuang sampah dari mobilnya ketika berada dijalanan?". "Masihkan ada yang menyalib tiba-tiba dengan kecepatan tinggi dijalanan dan tidak tertib berkendara?". "Masihkah akan ada parkir sembarangan?". "Apakah budaya antri akan membaik?". "Apakah orang yang lebih muda dan junior akan berlaku sopan kepada yang lebih tua atau senior dari padanya?". Bagaimana dengan penerimaan terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita?". Termasuk pertanyaan-pertanyaan lain sebagai parameter perubahan mentalitas semua stakeholders di Negara ini.
Time will tell, we just need to waiting and actively participated.