Kebutuhan untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan perlu disegerakan. Hal ini sebagai upaya mengurangi ketergantungan dan antisipasi terhadap keterbatasan energi fosil yang sudah menuju akhir.
Energi yang berasal dari batu bara dan minyak bumi tersebut sudah semakin menipis jumlah dan cadangannya. Selain itu yang kita tidak boleh lupa yaitu kebutuhan untuk menjaga alam ini, merawat lingkungan ini agar tetap lestari sebagai bentuk pertanggungjawaban dan jaminan kelak kita dapat mengembalikan kepada anak-cucu secara utuh.
Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think-tank yang aktif melakukan advokasi dan kampanye pemenuhan kebutuhan energi berbasis masyarakat dengan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan.
Dalam hal energi IESR telah menyampaikan rekomendasinya agar Indonesia secepat mungkin mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan mengupayakan peningkatan kontribusi energi terbarukan bahkan jika bisa hingga tiga kali lipat pada 2030.
Dengan ini harapannya Indonesia sudah tidak lagi menggunakan batubara di tahun 2040. Ini mesti dilakukan, demi keberlanjutan ekologi dan menjaga suhu bumi agar tetap berada dibatas aman, 1,5 derajat celcius.
Energi dari Komunitas Adat
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang berada di wilayah Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Merupakan perkampungan adat diketinggian 800-1.200 mdpl yang memegang teguh nilai dan prinsip adat.
Masyarakat Adat Ciptagelar saat ini dipimpin generasi kesebelas kasepuhan,Abah Ugi. Usianya masih terbilang muda belum lepas kepala tiga. Namun, seluruh masyarakat di sana menaruh hormat dan mempercayainya sebagai representasi leluhur yang membawa kehidupan ke atas dunia ini.
Menyoal tentang penghidupan masyarakat utamanya bersumber dari sektor pertanian. Dalam kesehariaan Masyarakat Adat Ciptagelar masih menerapkan sistem cocok tanam tradisional, organik tanpa menggunakan pupuk. Upaya tersebut terbukti berhasil, sesuatu yang mengejutkan saat ini Masyarakat Ciptagelar memiliki cadangan pangan setidaknya untuk 95 tahun ke depan. Mengherankan ketika masa tanam di sana ternyata hanya berlangsung sekali setahun bahkan nyaris tak pernah gagal.
Dari berbagai sumber literatur, keberhasilan itu datang berkat dukungan kebijakan adat dan pengetahuan lokal yang secara konsisten telah diwariskan secara turun-temurun. Hasil panen mereka disimpan dalam leuit (lumbung padi) yang dapat kita saksikan berjejeran apik memenuhi seputaran wilayah desa. Di sana setiap satu keluarga minimal punya satu leuit, belum lagi ditambah dengan kepemilikan komunal.
Dalam aturan Adat Masyarakat Ciptagelar juga tidak membolehkan untuk menjual padi atau beras. Demikianlah penuturan yang disampaikan Yoyok Yogasmana, Tetua Adat Ciptagelar yang bertugas serupa humas kasepuhan, untuk menjembatani hubungan antara kasepuhan dengan orang luar.