What, siapa yang sedang bunuh diri? Kita? Elu aja kali!
Yups, benar KITA. KITA sedang bunuh diri bareng-bareng secara ekologis.
Waduhh sereem.....lha apa maksudnya ini?
Oke, mari kita mempelajari kehidupan manusia-manusia terdahulu agar paham apa yang dimaksud dengan bunuh diri ekologis.
Hancurnya peradaban-peradaban besar di dunia
Pernah mendengar atau membaca tentang peradaban Maya di Amerika Tengah, Moche dan Tiwanaku di Amerika Selatan, Angkor Wat di Kamboja, Lembah Harapan Indus di India dan Zimbabwe Raya di Afrika? Peradaban-peradaban besar itu telah tumbang dan lenyap dengan hanya menyisakan sedikit jejak.
[caption id="attachment_350934" align="aligncenter" width="300" caption="Peninggalan Lembah Harapan Indus (dok.nationalgeographic.com)"][/caption]
Bagaimana peradaban-peradaban besar tersebut bisa lenyap? Hasil studi-studi arkeologi, klimatologi, sejarah, dan palynology (pollen science)menunjukkan bahwa peradaban-peradaban besar tersebut hancur karena kesalahan mereka dalam mengelola lingkungan. Kesalahan itu mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan yang sangat parah. Akibatnya lingkungan tidak lagi mampu mendukung kehidupan manusia. Pengelolaan lingkungan secara salah itulah yang dimaksud dengan bunuh diri ekologis.
[caption id="attachment_350935" align="aligncenter" width="480" caption="Peninggalan Suku Maya di Amerika Tengah (dok.ciputranews.com)"]
[/caption]
Apa saja kesalahan itu?
Menurut Jared Diamond (2005) ada 12 kesalahan dalam pengelolaan lingkungan yang termasuk dalam kategori bunuh diri ekologis, yaitu: (1) deforestasi dan kerusakan habitat, (2) masalah tanah (erosi, salinasi, kehilangan kesuburan), (3) manajemen air, (4) perburuan yang berlebihan, (5) pengambilan ikan yang berlebihan, (6) dampak dari mengimpor spesies baru terhadap spesies lokal asli, (7) pertumbuhan populasi yang tidak terkendali, (8) peningkatan dampak per kapita, (9) perubahan iklim yang disebabkan manusia, (10) membuang bahan kimia beracun ke lingkungan, (11) kekurangan energi, dan (12) pemanfaatan kapasitas fotosintesa bumi secara berlebihan.
Kondisi lingkungan kita saat ini
Permasalahan lingkungan yang kita hadapi sekarang seperti banjir yang muncul rutin di DKI, Medan, Semarang, dan daerah lain; rob setiap hari di sebagian wilayah Semarang; intrusi atau merembesnya air laut di bawah tanah; penurunan muka tanah; abrasi pantai; tingginya polutan yang mencemari air tanah; tingginya tingkat emisi gas rumah kaca; cuaca ekstrim; pranoto mongso yang sudah tidak sesuai; kebakaran di musim kemarau; kekeringan dan permasalahan sampah sudah mengindikasikan adanya something wrong dalam pengelolaan lingkungan kita. Berdasarkan 12 kesalahan yang disebut Pakde Jared Diamond itu, kita bisa mengamati kesalahan apa saja yang telah terjadi dalam pengelolaan lingkungan kita.
[caption id="attachment_350961" align="aligncenter" width="479" caption="dok. budi widianarko, tribunnews.com dan baranews.com"]
[/caption]
Hadeww, berarti beneran kita sedang bunuh diri secara ekologis nih? Ya, bisa dibilang kita sudah mendekati kondisi bunuh diri ekologis. Faktanya lingkungan kita sekarang sudah mengalami kerusakan. Memang kerusakannya belum terlalu parah, sehingga lingkungan kita masih memiliki daya dukung (meskipun terus semakin berkurang) untuk menopang kehidupan kita. Kalau kerusakannya sudah sangat sangat parah ya tentu saja kita semua sudah lewat, bablas angine macam peradaban-peradaban besar terdahulu itu.
“Sense of crises”: kata kunci untuk mencegah bunuh diri ekologis
“Sense of crises” (kepekaan terhadap krisis), itulah kata kunci untuk menghindari kondisi bunuh diri ekologis. Jika pemerintah memiliki visi yang jelas dan kepekaan terhadap krisis, sistem pengelolaan lingkungan yang baik bukan hanya menjadi mimpi di siang bolong. Dengan demikian pemerintah pasti mampu menjamin keberlanjutan sumber daya alam sebagai penyokong kehidupan masyarakat, karena hak atas lingkungan hidup yang baik dan layak adalah hak seluruh masyarakat.
Nah, kita sebagai bagian dari masyarakat juga diharapkan mulai memiliki kepekaan terhadap krisis lingkungan. Kita perlu menyadari bahwa tugas mengelola lingkungan bukan hanya tugas pemerintah tapi juga tugas kita sebagai bagian dari stakeholder lingkungan. Baik buruknya kondisi lingkungan kita, kita sendirilah yang menentukan (anthropocentric). Maka segeralah lakukanlah apa saja yang kita bisa, dimulai dari diri sendiri. Lha kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi (*boleh pinjam slogannya ya Pak Prabowo yang budiman, Bapak ganteng deh...smile smile smile).
Apa saja yang bisa kita lakukan?
Marilah kita belajar menerapkan gaya hidup ramah lingkungan di lingkungan terdekat kita, yaitu di rumah kita masing-masing. Bagi yang kos kayak saya ya dimulai dari kamar kos saya yang mungil imut-imut agar nantinya tidak jadi kamar yang amit-amit. Apa saja yang bisa kita lakukan? Oke, minimal ada 3 hal, kalau bisa lebih tentu saja akan lebih baik:
- Hormatilah jalan air:
Kalau ada air mau lewat ya kita kasih jalan, monggo dipersilakan lewat sungai, selokan, got, parit, talang, apapun nama jalannya. Jalan air itu kan memang haknya air, jadi jangan sekali-sekali kita coba-coba halangi dengan sampah atau apapun. Kalau ada penghalang, singkirkanlah. Kalau tidak dipersilakan lewat dengan baik, air suka ngambek lho. Kalau sudah ngambek, air suka main keroyokan dan nggak tanggung-tanggung dia ngajak teman-teman se-gangnya untuk datang gerudukan menghajar kita sampai kita kerendem dan bahkan bisa kelelep ampun-ampunan. Ini seperti peristiwa aktual yang terjadi minggu ini di Jakarta, Semarang dan beberapa daerah lain.
[caption id="attachment_350957" align="aligncenter" width="300" caption="dok.noviresbioku.blogspot.com"]
[/caption]
Halaman rumah kita akan lebih baik bila tidak ditutup beton tapi cukup dipaving agar air bisa meresap. Kalau sudah terlanjur dibeton semua, cobalah membuat biopori, biar air hujan bisa punya jalan untuk meresap masuk ke dalam tanah sehingga tidak menimbulkan genangan. Kalau sedikit sih cuma genangan, lha kalau banyak ya banjirlah jadinya.
[caption id="attachment_350937" align="aligncenter" width="490" caption="dok. puncakku.com, fokusjabar.com, gatotabe.wordpress.com, dutaradia16.blogspot.com."]
[/caption]
Hemat air (*iya tahu gak usah disuruh juga sudah hemat, ogah bayar mahal). Bagi yang nimba di sumur juga jangan boros air mentang-mentang tinggal nimba tidak beli. Kenapa perlu hemat? Karena air di bumi itu jumlahnya konstan, tidak bisa bertambah atau berkurang, tapi hanya berubah wujud saja. Oleh karena jumlahnya tidak bisa bertambah, mau tidak mau harus dihemat dan dijaga kualitasnya. Ini yang bilang sih bukan saya, saya cuma mengutip dan manthuk-manthuk pada apa kata para pakar lingkungan seperti Pakde Daniel D. Chiras (2006).
- Mengelola sampah rumah tangga:
Kementerian Lingkungan Hidup (2012) mencatat rata-rata penduduk Indonesia menghasilkan sampah sekitar 2 kg per orang per hari (*banyak juga yah kita nyampahnya). Sampah yang kita hasilkan minimal kita kelola di rumah kita masing-masing.