Lihat ke Halaman Asli

TKI Informal menjadi TKI Formal pada Tahun 2017

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat gayung bersambut, rencana penutupan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) informal tahun 2017 sebenarnya sudah digaungkan sebelum Pemerintahan Jokowi. Pada pemerintahan sekarang ini, Jokowi, semakin tegas dan jelas bahwa penempatan TKI informal harus ditutup sesegera mungkin. Menteri Tenaga Kerja diperintahkan untuk membuat roadmap rencana penutupan TKI informal dan hanya menempatkan TKI berkualitas (formal). Salah satu alasan yang diungkapkan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Pekerja sektor informal dianggap merendahkan harkat dan martabat bangsa atau merendahkan harga diri bangsa. Penutupan ini, menurut beberapa orang, sebenarnya adalah salah satu bentuk atau tindakan Pemerintah Indonesia karena negara penempatan belum bisa melindungi tenaga kerja Indonesia, khususnya yang bekerja di dalam rumah atau disebut juga TKI informal. Kriteria TKI informal adalah TKI yang bekerja di dalam rumah dan berprofesi sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT), perawat atau penjaga orang tua/jompo, perawat bayi, supir keluarga, perawat kebun. Seringnya, profesi kerja di dalam rumah itu terkesan melakukan pekerjaan serabutan. Misalnya, perjanjian kerjanya sebagai perawat anak, tapi melakukan pekerjaan lain seperti mencuci, memasak, dan bersih rumah. Jabatan PLRT, tapi melakukan juga pekerjaan merawat kebun, mencuci mobil dan sebagainya. Terkait dengan rencana penutupan, kalau yang kami tangkap sebenarnya bukan ditutup, tapi ‘diakali’ atau TKI informal dijadikan formal. Perubahan penyebutan informal ke formal itu diatur berdasarkan Kepmenaker No. 1 Tahun 2015. Dan disebutkan ada tujuh klasifikasi jabatan pekerjaan di dalam rumah yaitu pengurus rumah tangga, penjaga bayi, tukang masak, pengurus lansia, penjaga anak, supir keluarga, dan tukang kebun. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah negara penempatan bisa dan mau memberikan atau menyediakan pekerjaan seperti yang sudah diklasifikasikan sesuai Kepmenaker? Siapa yang menjamin bahwa penggunanya/majikannya akan menaati jabatan tersebut? Apakah ada yang tahu bahwa TKI bekerja sesuai dengan jabatannya dan tidak lagi melakukan pekerjaan di luar jabatannya? Bagaimana sanksinya jika pengguna/majikan melanggarnya? Bagaimana kesiapan negara dalam perlindungan TKI di negara penempatan, ketika penempatan TKI informal jadi TKI formal? Pengalaman para TKI menyatakan bahwa banyak TKI yang diperkerjakan tidak sesuai dengan jabatannya, padahal tertulis jelas di dalam perjanjian kerja. Bahkan gajinya pun sering diberikan dibawah ketentuan yang tertulis di perjanjian kerja. Keterangan ini kami dapatkan ketika bincang-bincang dengan para TKI. Padahal kita tahu bahwa perjanjian kerja itu menggunakan bahasa Indonesia (TKI) dan bahasa negara penempatan (majikan) agar masing-masing pihak mengerti, serta diketahui dan ditandatangani perwakilan R.I. Jadi sangat jelas bahwa yang sudah tertulis dan disepakati kedua belah pihak, masih tidak dipatuhi pengguna. Bagaimana kesiapan pemerintah dan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS)? Pemerintah sudah menyiapkan instrumennya dalam bentuk Kepmenaker No.1 Tahun 2015. Yang belum jelas bagaimana teknis pelaksanaannya atau penerapannya ke PPTKIS? Sampai saat ini, PPTKIS terkesan ‘galau’. PPTKIS menganggap penempatan TKI informal akan ditutup, maka tamatlah .....padahal belum, belum jelas ...... Suka ·

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline