Seorang teman berseloroh: acara TV apa yang ratingnya paling tinggi di bulan Ramadhan? Jawabnya adalah adzan maghrib. Karena di bulan Ramadhan, maghrib adalah penanda berakhirnya waktu berpuasa yang ditunggu semua Muslim.
Adzan adalah penanda waktu sakral dan panggilan kepada umat Islam untuk melaksanakan shalat. Dari masa lalu hingga kini, adzan memberi penguatan iman, bukti dari keberserahan diri dalam ibadah. Kita jeda dari pekerjaan atau kesibukan melakukan kewajiban shalat demi iman dan takwa. Adzan menjadi momentum mengajak manusia berefleksi diri untuk menjalani kehidupan.
Ramadhan tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena bertepatan dengan saat kita harus menghadapi pandemi covid-19. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di sejumlah daerah membuat warga harus mengurangi kegiatan di luar rumah. Alhasil, aktivitas yang biasa dilakukan selama bulan puasa banyak berubah. Contohnya, shalat (jumat dan tarawih) yang dilaksanakan berjamaah di masjid atau mushola disarankan untuk diselenggarakan di rumah. Namun diluar itu semua, adzan tetap berkumandang.
Ketika kita mendengar muadzin memperdengarkan adzan, suaranya merupakan representasi teknik olah vokal dengan liuk nada yang khas. Hal ini menjadi suatu pengalaman personal yang indah, yang mampu menyentuh pemahaman logika horisontal-vertikal sekaligus. Dengan suaranya, muadzin bisa membawa umat pada suatu tingkat kekhusyukan ibadah menghadap Sang Pencipta.
Adzan pernah menjadi bahan "perdebatan" ketika suara adzan yang sayup-sayup dirasa lebih indah dan merasuk ke sanubari daripada suara yang terlalu keras, menyentak dan terlalu dekat dengan telinga. Seberapa kencang suara adzan memang tidak dijelaskan dalam ukuran teknis dan hukum yang pasti.
Ketika adzan maghrib diperdengarkan dari masjid atau mushola yang banyak terdapat dan bahkan berdekatan satu sama lain, maka suara adzan akan terdengar bersamaan, bersahutan dan saling menimpa. Apalagi dengan menggunakan pengeras suara untuk menjangkau wilayah yang lebih jauh, suara adzan menjadi riuh dan menciptakan "kebisingan" tersendiri.
Disatu sisi, hal ini (seturut etnomusikolog Aris Setiawan) menjadi semacam "rekreasi bunyi" yang membentuk ruang representasi sosial, religi dan kebudayaan, menjadi semacam "keunikan" masyarakat Indonesia dalam merespon konstruksi bunyi. Anderson Sutton (1996) menyebut suara bising, noise, ramai, gaduh kadang tidak sekedar dihadirkan dalam ruang formalitas semata, namun sengaja dikonstruksi, dibangun, dibuat guna menandakan sebuah denyut perayaan produk kebudayaan.
Adzan juga menjadi media ekspresi dan representasi nilai-nilai budaya yang menyatu dalam struktur kebudayaan masyarakat. Seperti halnya dalam masa pandemi ini, seruan adzan di Uni Emirat Arab pernah berubah bunyi. Dengan suara muadzin yang sedih dan bergetar, lafal hayya 'alasshalah diganti menjadi shallu fi rihaalikum untuk mengajak umat muslim shalat di rumah, bukan di masjid seperti biasa.
Selain memungkinkan muslim menjalankan perintah-nya, shalat di rumah juga dilakukan untuk mencegah penularan covid-19. Adzan tidak berada dalam konteks bunyi semata, akan tetapi juga menyangkut persoalan humanisme dan peradaban. Di dalamnya terefleksi dan tersimpan nilai-nilai sosio kultural yang kontekstual.
Adzan merupakan penghayatan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan kesadaran sebagai sebuah wujud doa. Adzan mempunyai posisi, fungsi dan pemaknaan yang lekat dengan kebutuhan akan estetika, etika, identifikasi, komunalitas dan religiusitas. Pemahaman semacam ini harusnya mampu merekonstruksi suatu tatanan sosial masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai konseptual Islam yang "hidup", kontekstual dan relevan dengan kekinian.