Lihat ke Halaman Asli

Purnawan Andra

A sinner with no name

Fatalogi Informasi Media Siber

Diperbarui: 3 Mei 2020   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seluruh dunia sedang menghadapi musuh bersama yang tak terlihat bernama covid-19 (sumber ilustrasi: Liputan6.com)

Fenomena menyebarnya virus covid-19 telah menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari pedagang asongan hingga direktur perusahaan, dari bidan hingga peragawan, semua mengikuti perkembangan berita di media massa, baik cetak, elektronik hingga online. Media memasok informasi tentang covid-19, dan segala yang terkait dengannya dalam beragam bentuk: reportase, analisa atau feature, hingga dari share, tag atau retweet postingan, komentar atau pesan konten online. Informasi tentangnya muncul setiap saat, setiap waktu.

Pada kenyataannya, terjadi ragam penyajian berita tentang covid-19 mulai dari penjelasan tentang ancaman virus ini, pemaknaan wabah penyakit yang dikaitkan dengan hal-hal diluar nalar (klenik, tahayul hingga fatwa sepihak) hingga beragam versi berita bohong (hoax) tentangnya. Terlebih di media siber yang menerabas semua batas penyajian media cetak dan elektronik.

Hal ini karena media siber memfasilitasi munculnya berbagai respon mulai dari pendapat dan analisis alternatif hingga kritik terhadap suatu informasi. Di dunia siber yang nyaris tanpa batas itu semua begitu bebas dan terbuka: semuanya dapat diunggah, disebarluaskan, diekspos setiap orang, siapapun dan menjadi bahan obrolan tanpa henti. Orang menulis, mengunggah foto atau peristiwa di manapun, tentang apapun, dikomentari, di-retweet atau di-share, lalu dibahas dalam berbagai perspektif.

Akibatnya informasi menjadi terdekontekstualisasi. Berita menjadi simpang siur, riuh dan gaduh, tak jelas mana yang bisa dipertanggungjawabkan, mana yang isu, pseudoinformasi. Terjadilah, meminjam istilah Acep Iwan Saidi, fatalogi informasi. Alih-alih menuntun kita ke tujuan yang benar, informasi malah menjerumuskan.

Dunia siber melahirkan model komunikasi baru yaitu tradisi wicara digital dalam bentuk chat, tweet ataupun message yang sesungguhnya merupakan perbincangan lisan yang dimediasi teknologi digital. Oleh karenanya basis logikanya bukan memperdalam untuk mendapatkan pemahaman atas sesuatu, tapi justru sebaliknya, ia mudah diucapkan sekaligus dihapus. Akibatnya, memori menjadi kian pendek.

Mereka berbincang, berinteraksi, dan bertransaksi sebagai anggota masyarakat sosiodigital yang amat dinamis, progresif, bahkan liar. Setiap orang bisa berhadapan, berdialog, bertukar gagasan, berdebat hingga berkonfrontasi. Tentang segala hal yang melintas begitu cepat: informasi, pemikiran, berita, DPR, virus, paramedis, mudik, ADP, puasa, fatwa, narapidana, penguburan, dan sebagainya, dan seterusnya. Tradisi lisan yang dimediasi teknologi digital ini melipatgandakan kecepatan waktu.

Masyarakat siber (sumber ilustrasi: bssn.go.id)

Maka secara kultural terbentuklah masyarakat reaktif, yang mudah dimobilisasi beragam isu. Akibatnya, kita jadi manusia yang "panik", yang bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Era sosiodigital adalah zaman yang menomorduakan nalar. 

Dalam konteks covid-19, maka yang terjadi adalah perilaku diluar nalar seperti panic buying terhadap barang-barang seperti masker dan hand sanitizer serta penimbunan barang-barang kebutuhan rumah tangga atas nama persiapan lockdown yang mungkin saja bakal terjadi. Atau alih-alih simpati, empati dan toleransi kepada masyarakat yang lebih membutuhkan, beberapa kalangan malah melakukan swab test pribadi secara khusus dan eksklusif bagi anggota keluarganya juga contoh penolakan penguburan jenazah penderita covid-19 oleh warga karena stigma yang melingkupinya.

Padahal telah muncul berbagai postingan tweet, update status atau meme yang viral di media siber: kemana aja tuh orang-orang yang biasanya pamer saldo ATM di infotainment.. duitnya buat beliin masker dong. Atau: dulu waktu kampanye bagi-bagi kaos, sekarang rakyatnya pada sakit dan butuh masker, pada diem aja. Media siber mempunyai dua sisi mata pisau yang sama tajam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline