Lihat ke Halaman Asli

Purnawan Andra

A sinner with no name

Menjadi Bima dalam Ancaman Corona

Diperbarui: 23 April 2020   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah social distancing atau jarak sosial menjadi populer belakangan ini seiring merebaknya wabah corona di Indonesia. Begitu juga dengan istilah lockdown dan suspect. Semuanya menjadi diksi-diksi yang digunakan dalam setiap penjelasan terkait perkembangan virus ini di masyarakat.

Selama ini pemahaman social distancing yang dianjurkan pemerintah berarti pembatasan jarak satu orang ke orang lain secara fisik. Dengan menjaga jarak, mata rantai penyebaran virus yang tak memandang usia, agama dan latar belakang ini bisa diputus. Dengan jumlah penderita dan korban meninggal yang meningkat pesat setiap harinya, anjuran ini menjadi penting. Oleh karenanya segala hal yang berkaitan dengan kontak fisik, apalagi melibatkan kerumunan, harus dihindari.

Maka jika biasanya setiap pagi buta kita sudah bersiap beraktifitas berdesak-desakan di jalan dan angkutan umum menuju tempat kerja lalu kembali sampai di rumah menjelang tengah malam, kini seharian kita berada di rumah melakukan isolasi mandiri. 

Pemerintah bahkan sampai perlu mengeluarkan himbauan hingga peraturan pelarangan terhadap acara-acara yang melibatkan banyak massa. Acara pernikahan, hiburan hingga agenda keagamaan dan sosial kemasyarakatan lainnya harus ditunda atau bahkan perlu dibatalkan. Kegiatan pendidikan, perkantoran hingga peribadatan juga dilakukan di rumah.

Aparat berwenang seperti Satpol PP dan Kepolisian diterjunkan untuk memastikan hal ini bisa dilaksanakan di masyarakat. Maka kita lihat kondisi kota saat ini: jalanan lengang, perkantoran dan pusat perbelanjaan sepi, pusat-pusat hiburan dan rekreasi tutup, berbalik 180 derajat dari hari-hari biasa dimana tubuh-tubuh saling bergesekan dalam dinamika aktifitas yang luar biasa sibuk dan padatnya.

Hal ini tentu saja tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kita yang bahkan kerap merasa kehabisan waktu untuk melakukan aktifitas sehari-sehari, kini harus menghabiskan waktu seharian di rumah tanpa mengerjakan hal-hal yang biasa kita lakukan. Rasanya begitu sulit dan, menimbulkan efek bosan, jemu hingga putus asa yang luar biasa.

Maka masih kita dapati banyak orang yang keluar rumah meski sudah dihimbau untuk mengisolasi diri. Acara pernikahan masih banyak digelar, ikrar gerakan masyarakat masih dirayakan hingga doa bersama tetap diadakan. Belum juga orang-orang yang karena tuntutan pekerjaan dan kebutuhan hidup masih harus mencari nafkah. Para pedagang pasar, tukang ojek hingga petugas kebersihan, setiap hari masih harus keluar rumah, atas nama tugas dan kewajiban.

Istilah social-physical distancing, lockdown atau suspect masih menjadi konsumsi kaum menengah ke atas, sementara masyarakat lapisan dibawahnya belum tentu berada dalam konteks pemahaman yang sama dalam konteks istilah tersebut. 

Padahal selama belum ada obat penangkal virus corona yang telah teruji, maka social-physical distancing dan lockdown mutlak dilakukan. Dengannya, penting kiranya pengistilahan ini disesuaikan dengan konteks wilayah dan kultur masyarakat.

Wayang 

Kita memerlukan model pendidikan humaniora dan pembelajaran kultural yang tak diajarkan melalui kurikulum pendidikan, instruksi politik, atau indoktrinasi hidup modern. Dan hal ini sebenarnya sudah sejak lama dipraktikkan dalam kehidupan orang Jawa khususnya, melalui wayang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline