Di balik keindahan pemandangan danau Tondano, ternyata menyimpan kisah epik heroik, sekaligus tragis. Bagaimana tidak. Pada masa lalu, air yang tergenang di danau ini berwarna merah. Darah-darah para ksatria tergenang demi membeli tanah air mereka. Mereka dibantai oleh pasukan VOC setelah mempertahankan benteng Moraya secara mati-matian.
Dalam bahasa setempat, Moraya berarti "genangan darah." Hal itu berlatar belakang sejarah perlawanan rakyat Minahasa terhadap Belanda. Pada 5 Agustus 1809, kawasan di sekitar danau Tondano ini dibanjiri darah para korban perang, kebanyakan dari pihak rakyat Minahasa. Benteng ini menjadi tempat pertahanan terakhir dalam perang sejak tahun 1661 sampai dengan 1809. Dalam kurun waktu itu, setidaknya terjadi empat kali perang besar.
Penyebab peperangan ada dua. Pertama soal kopi. Pemerintah Belanda memburu biji kopi karena harganya melambung tinggi. Hal itu dilakukan untuk mengisi kas negara Belanda yang menipis akibat perang di Eropa. Pemicu yang kedua, adalah ambisi proyek jalan Anyer-Panarukan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36 Herman Willem Daendels. Untuk tenaga kerja, dia memerintahkan kerja paksa terhadap rakyat di Jawa. Untuk mengawasi pekerja, Daendels memerintahkan Residen Manado yaitu Predigger untuk merekrut sekitar 2.000 pemuda suku-suku Minahasa pemberani. Mereka dijadikan serdadu dan dikirim ke Jawa.
Perang pamungkas dan yang terbesar terjadi pada tahun 1807-1809. Hampir seluruh walak atau wangsa di Minahasa bersepakat melawan Belanda. Mereka bersatu berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimuut). Benteng Moraya, merupakan pertahanan terakhir masyarakat Minahasa. Pemerintah Belanda harus bersusah payah menggempur benteng ini sebelum akhirnya bisa membobolnya.
Kisah perjuangan ini terukir pada 12 pilar besar yang terpancang di bagian depan benteng. Pada bagian dalam, kita dapat menelusuri nama-nama marga atau fam orang Minahasa. Mereka adalah orang-orang yang ikut berjuang melawan penjajah.
Benteng Moraya ini berada di Desa Roong, Tondano Barat, Minahasa. Lokasinya tidak jauh dari pertigaan Patung Kerangkeng Sarapung. Sebelum direnovasi oleh pemerintah kabupaten Minahasa, di tempat ini ditemukan beragam kayu pondasi rumah orang Minahasa. Ukurannya sangat besar-besar. Usianya pasti mencapai ribuan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dulunya wilayah sekitar danau Tondano berupa hutan yang lebat dengan tanah yang subur.
Selain itu, ditemukan juga waruga atau peti kubur batu. Ini adalah peninggalan kebudayaan zaman batu. Waruga adalah batu berbentuk segi empat dengan bagian tengahnya berlubang untuk menyimpan mayat. Pada bagian atasnya terdapat batu penutup berbentuk atap rumah. Kuburan kuno ini menunjukkan bahwa wilayah sekitar danau Tondano sudah menjadi tempat pemukiman sejak ribuan tahun yang lalu.