Lihat ke Halaman Asli

Purnawan Kristanto

TERVERIFIKASI

Penulis

Rumah Tanpa DP yang Bikin Muka Berkerut

Diperbarui: 26 Februari 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar www.phmloans.com

Sebagai dosen, seharusnya Anies dapat memaparkan materi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti. Tapi kalau mengikuti pemberitaan tentang program perumahan yang dijanjikan Anies dan Sandi ini, saya masih bingung.
Berawal dari acara debat di televisi, Anies dan Sandi melontarkan janji untuk memberikan bantuan perumahan dengan Uang Muka  (UM) 0% (nol persen). Janji ini menuai kontroversi lalu direvisi menjadi UM Rp. 0,- (nol rupiah).
Ternyata konsep ini belum final karena kemudian direvisi lagi dengan janji cicilan UM 6 bulan. Lalu direvisi lagi bahwa UM akan ditanggung pemda.
Yang terakhir Anies menjelaskan bahwa programnya itu bukan program membangun rumah, melainkan program bantuan pembiayaan.

Begini penjelasan Anies:

"Jika diilustrasikan, jika ada sebuah rumah sederhana seharga Rp 350 juta. Jika mengikuti aturan pada umumnya, DP dimisalkan 15 persen dari harga rumah, yaitu Rp 52,5 juta.
Dengan program DP nol rupiah, Pemprov DKI disebut akan menalangi pembayaran DP tersebut ke bank. Sementara, warga yang mengajukan kredit rumah mencicil kepada Pemprov DKI. Program ini memuat kriteria warga seperti apa yang memenuhi syarat agar bisa dibantu Pemprov DKI, salah satunya dengan melihat kebiasaan menabung selama enam bulan.
Jika warga bisa rutin menabung senilai Rp 2,3 juta (nominal sesuai hitungan skema ilustrasi) selama enam bulan di Bank DKI, maka kemungkinan besar bisa ikut program DP nol rupiah"

Mari kita simak:

Pertama: Program ini dilontarkan oleh Anies-Sandi karena melihat bahwa sebanyak 5 juta penduduk Jakarta tidak punya rumah. Kendalanya adalah karena ketentuan pembayaran UM yang tinggi. Itu sebabnya Anies menawarkan janji talangan UM.  Kalau menurut uraian Anies di atas, jangka waktu enam bulan itu bukan masa angsuran Uang Muka sebab jika dihitung: Rp. 2,3 juta x 6 bulan itu ketemunya baru Rp. 13,8 juta. Masih selisih Rp, 38,7 juta.
Jika UM dipatok Rp. 52,5 juta, maka dengan angsuran 2,3 juta baru lunas selama 22 bulan.  

Sesuai dengan skenario Anies di atas, maka dengan talangan dana dari Pemda, maka pemohon bisa segera menempati rumahnya karena UM sudah dibayarkan oleh pemda. Maka selanjutnya pemohon berkewajiban mengangsur cicilan UM sebesar Rp. 2,3 juta per bulan. Jika memang skema ini yang dimaksud Anies, maka nama programnya bukan UM nol rupiah atau nol persen, melainkan lebih tepat disebut "Program Insentif Angsuran Uang Muka dengan Bunga Nol Persen"

Kedua: Kewajiban pemilik rumah tidak hanya mengangsur UM tapi juga mengangsur KPR. Dengan UM Rp. 52,5 juta, maka pemilik rumah masih punya hutang Rp. 297,5 juta kepada pihak bank. Taruh kata tenor KPR 20 tahun, maka ada tanggungan pinjaman pokok Rp. 14.875.000,- per tahun. Jika ditambah bunga KPR tetap 12% per tahun, maka nilai cicilan kira-kira Rp. 1.389.000,- per bulan. Jika ditambah kewajiban mengangsur UM, maka pada 22 bulan pertama, pemilik rumah harus menyediakan uang Rp. 3.689.000,-  per bulan.

Pakar keuangan mengatakan bahwa jumlah hutang tidak boleh melebihi sepertiga dari pendapatan. Jika menuruti asas tersebut, maka program Anies ini hanya akan bisa diikuti oleh pemohon yang punya pendapatan Rp. 11 jutaan/per bulan. (Bandingkan dengan UMP DKI Jakarta sebesar Rp. 3.350.750,-)

Ketiga, karena menawarkan dana talangan Uang Muka, maka pemerintah DKI harus menyiapkan subsidi dana Rp. 52,5 juta x 50 ribu pemohon = Rp. 2.625.000.000.000,-/gelombang. Sekitar 2,6 trilyunan.  Jika nilai APBD DKI 2017 mencapai Rp 70,191 triliun, maka sebanyak 4 persennya dipakai untuk dana talangan. Angka ini dapat meningkat jika terjadi kredit macet. 

Dengan uraian sederhana di atas dapat disimpulkan:

  1. Program Anies-Sandi ini hanya dapat diikuti oleh penduduk yang berpendapatan menengah ke atas (Di atas 10 juta per bulan).
  2. Jika ingin memaksakan diri menyasar lapisan bawah, maka ada kemungkinan besar terjadi kredit macet, yang harus ditanggung oleh APBD DKI. Lalu bisa juga karena tidak mampu membayar angsuran. lalu mereka menjual kembali rumah mereka atau mengalihkan kredit pada orang yang lebih mampu. Maka program ini telah salah sasaran.

Demikian pemahaman sederhana saja dari orang yang pernah belajar di Fisipol. Kampusnya berdampingan dengan fakultas Ekonomi, tempat kuliah Anies dulu. Sebagai alumni fakultas Ekonomi, barangkali Anies punya penjelasan yang lebih brilian dan masuk akal sehingga tidak membuat muka saya berkerut lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline