Kira-kira dua ribu tahun yang lalu, di tanah Palestina, seorang Guru dan para murid mengadakan perjalanan menuju Yerusalem. Di tengah perjalanan rombongan ini mampir di rumah karibnya: Marta, Maria dan Lazarus. Mendapat kunjungan tamu agung, Marta tergopoh-gopoh menyiapkan penyambutan. Ini adalah kunjungan dari orang yang sangat dihormatin [caption id="attachment_202959" align="alignleft" width="393" caption="http://www.martha2mary.com/"][/caption] ya. Maka dia ingin memberikan sambutan yang terbaik. Marta begitu sibuk menyiapkan hidangan di dapur sehingga hampir tidak menyadari kalau dia hanya bekerja sendirian. Setelah celingak-celinguk kesana-sini, Marta mendapati saudarinya itu sedang duduk manis di dekat kaki sang Guru. Kontan Marta menjadi kesal. Maria nampakmya tidak menyadari tugasnya sebagai perempuan, yaitu bekerja di dapur. Maka Marta lalu memprotes sang Guru: "Apakah Guru tidak melihat kalau Maria tidak membantu aku," seru Marta sengit, "suruhlah dia menolong saya!" "Marta, Marta!" jawab sang Guru. "Engkau demikian khawatir dan sibuk memikirkan ini dan itu, padahal yang penting hanya satu. Dan Maria sudah memilih yang baik, yang tidak akan diambil dari dia."
***
Nasib yang dialami oleh Marta sering digunakan untuk menyindir aktivis gereja yang terlalu sibuk melayani sehingga tidak sempat punya waktu mendengarkan sabda. Namun ketika mengulang perikop ini dalam bacaan leksionary, tiba-tiba saya mendapat perspektif baru: Marta adalah korban dari relasi gender yang timpang. Sebelum membahas Marta kebih lanjut, baiklah kita mengobrolkan tentang gender lebih dulu. Dalam setiap masyarakat selalu diberlakukan pranata, yaitu seperangkat aturan yang mengatur peran, fungsi dan relasi anggota masyarakat. Di dalamnya termasuk juga penataan relasi antara perempuan dan laki-laki. Pada mulanya relasi ini diatur atas dasar fungsi biologis. Secara biologis perempuan memiliki fungsi haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Maka mereka diberi tugas dan peran sesuai dengan fungsi biologis tersebut. Sedangkan laki-laki secara biologis memproduksi sperma yang dibutuhkan untuk pembuahan. Maka mereka diberi tugas dan peran sesuai dengan biologis tersebut juga. Selanjutnya pada zaman itu manusia membagi pekerjaan sesuai dengan kondisi. Laki-laki bekerja di luar rumah (sektor publik), sementara perempuan mengurusi dalam rumah (sektor domestik). Pranata berlangsung selama puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun sehingga masyarakat menempatkannya sebagai sebuah falsafah atau ideologi gender. Ideologi gender ini merupakan satu set ide (paradigma) atau pandangan hidup yang saling berhubungan dan membekas di pikiran seseorang atau kelompok, sudah mapan, dan sukar digoyahkan. Dalam proses perjalanannya, ideologi gender telah mengkonstruksi pandangan masyarakat tentang relasi antar-manusia, sehingga terjadi pencampuradukan antara perbedaan jenis kelamin secara biologis dengan fungsi dan perannya secara sosiologis. Dalam sebuah komunitas di masyarakat, pengertian seks dan gender masih tercampur-aduk. Akibatnya, gender yang merupakan produk dari konstruksi sosial berupa pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (seks) sering dianggap sebagai kodrat. Padahal gender bukan kodrat, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang terbangun dalam masyarakat. Dalam proses berikutnya, perbedaan gender dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender. Ketidakadilan ini dapat terjadi pada aras negara, masyarakat, lembaga kerja, keluarga dan diri pribadi sendiri. Ada beberapa bentuk ketidakadilan gender, antara lain berupa: subordinasi perempuan, peran ganda, marjinalisasi perempuan, stereotipe, dan kekerasan terhadap perempuan. Sistem Sosial Masyarakat Yahudi Masyarakat Ibrani saat itu juga diwarnai oleh ideologi gender yang tidak adil pada perampuan. Kamus Browning memaparkan bahwa, di Israel, orang lelaki adalah penguasa mutlak dalam lingkungan keluarga besar. Apabila seorang suami mati, maka jandanya diberikan kepada saudara terdekat dari orang yang meninggal itu (Ul. 25:5-10). Perempuan tidak punya kuasa apa pun, tidak dapat membuat keputusan. Selama masa kerajaan subordinasi perempuan itu dipertahankan. Menceraikan hanya bisa dilakukan oleh di suami. Dan perzinahan seorang perempuan adalah suatu pelanggaran yang diancam dengan hukuman mati (Im. 20:10). Perempuan tidak berhak mempunyai milik. Fungsi biologis perempuan juga menjadi korban ketidak adilan. Mereka ditempatkan dalam keadaan najis -- misalnya pada waktu haid dan masa setelah melahirkan (panjangnya masa kenajisan itu berlipat ganda apabila yang dilahirkan adalah bayi perempuan). Perundang-undangan setelah pembuangan meletakkan lebih banyak lagi larangan atas perempuan. Mereka tidak lagi diizinkan untuk beribadah bersama laki-laki dalam Bait Allah. Mulai ada pemisahan tempat.Kesaksian mereka tidak diterima di pengadilan. Beberapa peran perempuan yang disebutkan dalam Alkitab adalah: 1. Pekerjaan rumah tangga (Kej 18:6; Ams 31:15) 2. Bertani.(Rut 2:8; Kid 1:6) 3. Menjaga domba (Kej 29:9; Kel 2:16) 4. Menimba air dan mengangkutnya.(Kej 24:11,13,15,16; 1Sam 9:11; Yoh 4:7) 5. Mengilang (menggiling) gandum (Mat 24:41; Luk 17:35) 6. Memintal benang (Ams 31:13,14) 7. Membuat barang-barang sulaman (Ams 31:22) 8. Merayakan kemenangan bangsanya (Kel 15:20,21; Hak 11:34; 1Sam 18:6,7) 9. Menghadiri penguburan sebagai orang yang berdukacita (Yer 9:17,20) Lihatlah, hampir semua peran untuk perempuan sebagian besar berada di sektor domestik. Meskipun "hanya" bekerja di sektor domestik, tidak berarti bahwa pekerjaan perempuan lebih ringan. Setiap pagi, para perempuan harus bangun sebelum orang lain dalam keluarganya untuk menyalakan api di perapian atau tungku. Makanan utama orang Yahudi adalah roti. Jadi, salah satu tugas seorang istri dan ibu adalah menggiling biji padi-padian menjadi tepung. Pekerjaan ini dilakukan dengan tenaga manusia mengingat saat itu belum tersedia mesin atau alat listrik. Setiap rumah tangga pasti memerlukan air. Tugas ini juga dibebankan kepada perempuan. Mereka harus mengangkut air menggunakan buyung dari sumur di tengah desa, atau ada juga yang harus mengambilnya dalam terowongan di bawah tanah. Menjelang siang, saat makanan siap tersaji, perempuan tidak bisa berleha-leha. Perempuan memiliki kewajiban untuk memintal benang dan menenun untuk kebutuhan pakaian keluarganya. Anak-anak kecil harus disusui, dijaga, dan dipelihara kebersihannya. Waktu anak-anak itu semakin besar, ibu mengajarkan sopan santun kepada mereka. Ia juga mengajarkan anak-anak perempuan yang lebih besar cara memasak, menjahit, dan melakukan hal-hal lain yang harus diketahui seorang istri Israel yang baik. Dengan tanggungjawab yang sebesar ini, maka tak heran jika laki-laki Yahudi berdoa syukur kepada Allah bahwa mereka tidak dilahirkan sebagai perempuan. Tak heran pula, jika Marta menjadi kesal saat melihat Maria tidak membantunya. Dia malah kedapatan tengah asyik mendengarkan pengajaran dari sang Guru. Ini adalah kebiasaan yang ganjil zaman itu. Dalam tradisi Yudaisme, pengajaran agama hanya diwajibkan kepada kaum laki-laki. Perempuan memang diiizinkan menguping pengajaran, namun para guru agama Yahudi tidak mau mengajar perempuan secara langsung. Kesediaan Yesus, seorang pria Yahudi, untuk mengajar pada perempuan menunjukkan bahwa Yesus tidak memandang rendah terhadap perempuan. Yesus menunjukkan konsistensi sikap ini selama masa pelayanan-Nya. Yesus mengadakan penyembuhan terhadap perempuan seperti perempuan penderita penyakit pendarahan yang sangat menekan (Mrk. 5:24-34) dan penyembuhan atas perempuan Siro-Fenisia yang bukan Yahudi (Mrk. 7:24-30). Yesus juga menyapa perempuan Samaria dan tidak keberatan ketika ada perempuan yang mengurapi-Nya di tempat umum. Perempuan juga menjadi bagian penting dalam cerita-cerita kebangkitan Yesus. Merekalah yang menerima penyataan pertama bahwa Yesus telah dibangkitkan. Hubungan Yesus dengan perempuan menunjukkan sikap-Nya yang merengkuh semua orang tanpa mempedulikan ras keturunan, status atau jenisnya. Iman Marta Meski berani memprotes Yesus, namun Marta sesungguhnya adalah seorang yang percaya. Dalam kesempatan lain, dia menunjukkan keyakinannya yang kuat pada kuasa Yesus. Saat Lazarus, saudaranya menderita sakit, Marta mengabarkannya kepada Yesus. Sayangnya Lazarus keburu meninggal ketika Yesus sampai ke rumah Marta di Betania. Meski begitu Yesus menjanjikan bahwa Lazarus akan bangkit kembali. "Aku tahu, ia akan bangkit, pada waktu orang-orang dibangkitkan pada akhir zaman," kata Marta kepada Yesus. Pernyataan ini menunjukkan sikap percaya Marta pada ajaran yang pernah disampaikan Yesus (walaupun dalam hal ini Marta salah dalam memahami maksud Yesus). Yesus lalu menjelaskan lebih lanjut: "Akulah kebangkitan dan Hidup, barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup, walaupun ia sudah mati. Setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya." Lalu Marta menanggapinya dengan luarbiasa: "Ya Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias." Tanpa keimanan yang kokoh pada Yesus, mustahil Marta mengucapkan pengakuan yang setara dengan perkataan Petrus tentang kemesiasan Yesus. Memilih Kalau memang Marta percaya kepada ajaran Yesus, lalu mengapa dia mengeluarkan kata-kata yang emosional itu? Seperti yang saya sampaikan di awal, Marta adalah korban dari struktur masyarakat yang patriarki. Mungkin dalam hati Marta berkata, "buat apa sih Maria capek-capek belajar. Toh itu bukan tugas perempuan. Tugas perempuan adalah di dapur. Apalagi saat ini ada banyak tamu yang berkunjung. Mestinya dia ada di sini, membantuku." Marta terlalu sibuk melayani. Kata Yunani yang dipakai untuk melayani adalah periespato yang artinya "dijauhkan" atau "dipisahkan." Marta dipisahkan dengan Maria dan Yesus. Marta ada di dapur (sektor domestik), sementara Yesus dan Maria (sektor publik) bercengkerama di ruang depan. Pemisahan ini menimbulkan kebingungan, kekhawatiran dan kecemasan. Maka tak pelak muncullah protes dari Marta. Lalu bagaimana tanggapan Yesus? Dengan nada prihatin Yesus berkata, "Marta, Marta. Engkau demikian khawatir dan sibuk memikirkan ini dan itu, padahal yang penting hanya satu. Dan Maria sudah memilih yang baik, yang tidak akan diambil dari dia." Apakah ini menunjukkan bahwa Yesus memandang rendah pekerjaan domestik? Sama sekali tidak. Kata kuncinya adalah "memilih." Saat mampir ke rumah Marta, Yesus berada dalam perjalanan menuju Yerusalem. Perjalanan ini bukan untuk plesiran, melainkan untuk menderita dan mati bagi umat manusia. Sebagaimana orang yang "mampir" atau "singgah", pasti tidak akan tinggal lama. Yesus memiliki waktu yang sangat terbatas untuk menyampaikan pengajarannya. Maka Maria tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang sempit ini. Dia memilih untuk bersimpuh di dekat sang Guru dan mendengarkan sabda-Nya. Pengajaran yang disampaikan oleh Yesus adalah sabda yang membebaskan. Setiap orang yang percaya kepada-Nya akan menjadi manusia merdeka. Tidak hanya terbebas dari ikatan dosa, tetapi juga memiliki kesadaran penuh dalam membuat keputusan-keputusan dalam hidupnya. Banyak orang yang salah menyangka bahwa feminisme semata-mata sebagai sekumpulan perempuan yang menolak menjadi ibu rumah tangga. Pandangan ini terlalu sempit. Feminisme adalah sebuah gerakan yang menggugat penindasan terhadap perempuan dan berusaha membangun relasi antar manusia yang lebih adil. Tujuan mulia seperti ini sejajar dengan pengajaran yang disampaikan oleh Kristus. Jika keadilan telah tercapai, maka masing-masing pihak akan menjalankan dan menghayati perannya dengan bebas dan sukarela. Dalam kondisi seperti ini, jika ada perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga, maka dia tidak lagi disebut sebagai korban dari relasi gender yang timpang. Dia telah memilih peran itu dengan kehendak bebasnya. Tidak ada yang menekan atau mewajibkannya. Maria telah menjadi manusia bebas dan berani membuat pilihan. Keputusannya untuk mendengarkan ajaran Yesus, alih-alih membantu saudarinya ini memiliki risiko besar. Ada kemungkinan dia akan dikecam oleh masyarakat sebagai perempuan yang lancang, tidak sopam dan tidak tahu diri. Meski begitu Maria telah menetapkan pilihan, dan pilihan dianggap tepat oleh Yesus. Nah bagaimana dengan Anda? Peran apa yang Anda jalani saat ini? Apakah Anda telah memilih peran itu sebagai manusia merdeka, atau karena dipaksa oleh budaya yang masih patriarki? Pertanyaan ini tidak hanya bagi kaum perempuan, tetapi juga kaum lak-laki. Dalam masyarakat patriarki, kaum laki-laki pun bisa menjadi korban ketidakadilan gender. Sebagai contoh, ada anggapan bahwa kaum laki-laki harus bekerja di sektor publik. Ada juga anggapan bahwa peran sosial adalah tanggungjawab laki-laki. Jika ada perempuan yang berperan lebih menonjol dalam keluarga, maka hal itu dianggap sebagai abnormal. Contohnya, karena isteri saya menjadi pendeta, maka perannya di jemaat lebih menonjol daripada saya. Meski begitu saya tidak menyoalkan kondisi ini karena saya telah menyadari konsekuensinya ketika menikahi pendeta perempuan; Dan saya membuat keputusan ini dengan kehendak bebas. Setiap orang yang berada di dalam Kristus adalah manusia yang merdeka. Pertanyaannya, sudahkah Anda juga bebas dari belenggu budaya patriarki? Referensi: Kamus Browning Alkitab.sabda.org Makalah Nunuk P. murniati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H