Ini kali ketiga kupergi ke negeri awan. Terakhir aku berkunjung ke sana sepuluh tahun lebih yang lalu. Sensasinya samar-samar di benakku.
Aku sangat menikmati detik-detik burung besi berpisah dari landasan. Sayapnya bergetar di sisiku. Aneh, getarnya tak membuatku gentar sedikit pun! Justru pada getar sayap itu kubisikkan harapku agar melaju tegar menentang setiap hambatan.
Sinergi sejumlah gaya membawaku naik melesat ke angkasa. Kumembumbung makin tinggi, meninggalkan permukaan pertiwi yang makin menyusut. Ah, betapa kecilnya tempatku berpijak di sana.
Cakar-cakar pencakar langit mendadak tumpul. Griya megah tak lagi terlihat perkasa. Jalan yang dijejali kendaraan hanya sebentuk garis tipis. Klakson-klakson sekonyong-konyong bisu, tak terdengar teriak sumpah-serapahnya. Dari ketinggian, tak nampak lagi keistimewaan di bawah sana. Semua bak lembaran yang amat sangat biasa.
Awan-awan nampak bergembira riang disiram sinar mentari. Kilaunya berkedip genit dari kejauhan, merayuku untuk mendekatinya.
Permadani hamparan awan digelar menyambutku. Kumasuki naungan awan nan teduh permai. Naungan itu memberiku kedamaian tatkala sayap di sisiku kembali bergetar diterpa gairah semangat sepasukan awan yang menyapa. Andaikan hidup seringan ini, tanpa beban sekelumit pun.
Seandainya hidup ini jauh dari hiruk-pikuk derap kaki yang berlelah-lelah memburu nafkah. Jauh dari suara banting tulang bertalu-talu dari pagi buta hingga malam kelam. Jauh dari janji manis lidah-lidah memuakkan. Jauh dari isak tangis kedukaan. Jauh dari jerit minta tolong keluar dari kesengsaraan, ketidakadilan. Jauh dari keluh kesah dan sesal berkepanjangan. Jauh dari umpatan caci-maki yang selalu sia-sia. Jauh dari bisik putus asa yang membunuh akal. Jauh dari rasa menyalahkan diri. Jauh dari rasa tamak dan upaya mengejar kepuasan diri. Jauh dari segala himpitan beban.