Di suatu Minggu sore, aku duduk di ambang pintu kos sambil menggenggam sikat sepatu. Kuamati sepasang sepatu yang baru saja kusikat. Sisa-sisa debu yang berterbangan masih melayang pelan, menghiasi pandanganku. Sepatu baru itu hendak kupakai pada kuliah perdanaku esok hari. Kuamati sepatu itu sejenak, lalu menatap lili Paris yang tertanam tak jauh dari sepatuku berada, sambil mengenang sesuatu. Kenangan beberapa waktu silam...
***
Akhir-akhir ini Bu Lis, guru kimiaku, rajin sekali melakukan sesuatu yang bagiku cukup membosankan sekaligus menyedihkan. Ini kali ketujuh dia mengingatkan sesuatu yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan PR kimia. Bagiku PR tentang penamaan senyawa golongan asam karboksilat dan ester yang membuat heboh seisi kelasku pagi tadi itu, masih lebih seru dibahas ketimbang menyimak omongan guruku itu.
Seperti yang sudah-sudah, guruku itu akhirnya memulai begini.
”Oke. Sebelum mengajar, saya mau memberitahu sesuatu,” katanya dari bangkunya, duduk santai agak miring sambil meletakkan salah satu tangannya di atas punggung kursi kayu. Salah satu kakinya dinaikkan ke atas kakinya yang lain. Beliau memandang ke segala lini kelas.
”Dari semua kelas, kelas ini yang paling sedikit sekali membayar DP.” Beliau menatap sejenak ke atas selembar kertas di atas mejanya. ”Baru lima orang, nih. Yang lainnya mana?” tanyanya santai seperti bercengkrama dengan kawan sebaya. Bu guru yang satu ini memang cukup akrab dengan siswa-siswa. Meskipun termasuk guru senior, beliau tidak menjaga jarak, bahkan cukup fasih melontarkan bahasa ’gaul’ yang akrab di telinga siswa-siswanya.
Teman-teman memberikan tanggapan beragam atas pertanyaan Bu Lis. Rina yang duduk di depanku menggaruk-garuk tak jelas. Di sampingnya, Riska, seperti kebanyakan teman yang lain hanya terkekeh. Aris, teman sebangkuku berbisik ke arahku, ”Kamu ditagih tuh, Tina.”
”Bukan ’kamu’, tapi ’kita’, tahu!” cetusku sebal, mengoreksi bisikan Aris. Aris kini ikut terkekeh.
”Kelas-kelas yang lain sudah hampir separuh siswa yang membayar DP loh. Malah ada yang sudah lunas!” kata Bu Lis bersemangat. ”Pak Ketua, gimana nih,” cecar Bu Lis setengah tertawa, memandang Nazrul, pemimpin kelas II-F, kelas kami. Mendadak semua kepala menoleh ke arahnya. Yang ditanya malah cengengesan sambil memegang ujung dasinya di atas meja, tak jelas maksudnya apa.
Nazrul akhirnya menjawab sekenanya, ”Maklum tanggal tua Bu. Dua minggu lagi mungkin sudah banyak yang bayar. Doain aja, Bu.” Si cadel dan kidal ini menjual gigi putihnya, sambil memutar-mutar pulpen di atas jemarinya.
”Amiiin,” kata Bu Lis pasrah, balik menjual deretan gigi rapinya ke semua siswa. ”Cepat-cepat dibayar ya, supaya bisa segera diurus pesanan bus, penginapan, dan lainnya,” tambahnya memohon, seraya menutup acara menagihnya. Sejak menjadi bendahara study tour ke Jogja, beliau layaknya tukang kredit saja. Ini yang membuatku bosan. Saking seringnya menagih, aku dan teman-teman jadi hapal kebiasaan barunya ini sebelum memulai pelajaran di kelas.