“Ayu banguun sudah pagi, ayo shalat dulu” ujar Ayahku
“Iya ayah..” sahut ku dengan selimut masih membungkus sebagian tubuhku, udara dikampung memang jauh lebih dingin dan segar dibandingkan di Ibu kota, yang penuh dengan hiruk pikuk kehidupan dengan segala permasalahannya.
Pagi ini adalah pagi pertama aku menikmati udara segar dikampung, tempat dimana aku dilahirkan dan di besarkan oleh kedua orang tuaku, tapi karena urusan pendidikan aku harus berpisah dengan mereka sejak aku SMA, keluargaku memang sangat sederhana, pernghasilan ayah yang tak pernah menentu pada waktu itu, membuat pendidikan kakak kakak ku hanya sampai SMA saja, beruntunglah aku bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan kakak ku yang lain, aku adalah anak terakhir dari lima bersaudara, semua kakaku telah menikah, kini hanya aku yang tersisa. Setiap libur kuliah jika tidak ada kegiatan yang terlalu penting dikampus aku pulang untuk bertemu dengan mereka.
Ayah dan ibu selalu membangunkanku saat pagi untuk shalat, meskipun terkadang aku malas bangun dan membantahnya untuk bangun. Tapi ayah tidak pernah marah dia hanya menasehatiku dengan halus, itulah sebabnya aku jauh lebih nyaman dengan ayah. Kini usia ayah tidak semuda dulu, waktu aku masih duduk dibangku Sekolah Dasar dia masih bisa membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah, tapi sekarang mata kuliahku tidak semudah dulu, jadi aku harus berusaha sendiri menyelesaikan semua tugasku sendiri.
Seperti biasa setiap pagi kita membersihkan rumah, ibu yang kini sedang sakit tidak bisa melakukan kegiatan terlalu banyak. Disaat ibu sakit ayah setia mendampingi ibu, dia merawatnya dengan baik selama hampir tiga tahun ibu mengalami penyakit struk, meskipun dua tahun belakangan ibu mengalami kemajuan yang sangat bagus, ibu sudah bisa berjalan dan makan sendiri, dan sedikit demi sedikit sudah bisa melakukan aktifitas. Ayah selalu merawat ibu dengan baik, mebersihkan air seni ibu yang berantakan di lantai, menuruti apa yang ibu mau, membantu ibu membersihkan badannya, walaupun terkadang ibu suka membentak ayah, dan ketika ayah di bentak terkadang aku meneteskan airmata dibarengi dengan celetukan-celetukan kecil di hatiku “kurang sabar apa ayah sama ibu? Semua yang ibu mau ayah ikuti?”dan saat itulah aku sering membela ayah.
Ayah ku yang tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan, menjadi penyebab pertengkaran mereka, terkadang aku ikut campur dalam pertengkaran mereka “perusahaan atau tempat kerja mana yang mau menerima ayah yang sudah tidak produktif lagi bu, ayah sudah tidak mampu kalau harus bekerja berat bu, kini usianya tidak lagi semuda kakak, tenaganya tak sekuat anak-anak muda yang produktif, ayu mohon ibu mengerti keadaan ayah” ujarku, dan pada akhirnya ada atau tidak ada campur tangan ku mereka akan tetap kembali bersama lagi karena mereka sadar bahwa mereka memang saling membutuhkan dan ayah selalu mengalah dalam segala hal mungkin beliau sadar karena sebagai kepala keluarga ayah tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Ketika keakraban terjalin lewat obrolan singkat di malam hari dengan ditemani sajian televisi sesekali aku bertanya pada ayah.
“Ayah apakah ayah mencintai ibu?” Tanyaku dengan senyuman manis di bibir. Ayah hanya memberikan jawaban lewat senyuman yang aku tak mengerti arti dari senyuman itu.
“Orang yang sudah tua seperti ayah dan ibu tidak perlu mengucapkan cinta kepada pasangan, kita hanya berusaha terus saling menjaga” ujar ibuku sambil menarik sarung sebagai selimut di kakinya.
Adakalanya rasa bosan menyentuh kalbu ayahku, merawat ibu yang suka marah-marah membuat ayah ingin pergi ke Jakarta menemui keponakan-keponakan yang memiliki penghasilan lebih, “Bukan meminta, hanya bersilaturahmi” ujarnya. Terkadang aku dan kakak melarangnya untuk pergi karena usianya yang tak muda lagi, membuat kami khawatir jika ayah pergi seorang diri. Meskipun ada keinginan untuk pergi ke Ibu kota ayah selalu meminta izin kepada ibu, apakah ibu mau ayah tinggal?, dengan kondisi ibu yang sedang sakit terkadang ayah tidak tega meninggalkan ibu, tapi terkadang malah ibu berkata “siapa tahu ada yang memberi ongkos pulang untuk ayah, jadi silahkan ayah pergi tapi jangan lama-lama”. Dan ayahpun pergi dengan waktu yang singkat, meskipun kami sedikti khawatir tapi ayah selalu pulang dengan selamat, pernah suatu hari perjalanan pulang ayah tak semulus biasanya, ayah kecopetan di kereta ekonomi, tas beserta uang yang di dalamnya hilang, tapi ayah selalu bersabar dan memperkuat prinsipnya bahwa “Sesuatu yang hilang akan kembali dengan hal yang jauh lebih besar dari sebelumnya”.
Seburuk apapun ayah, semiskin apapun dia, dia tetap ayahku yang hebat, mungkin ayah tidak memiliki kekayaan materi tapi beliau punya kekayaan hati yang tiada tara dan takkan pernah terhitung jumlahnya. kesabaran, ketulusan, keikhlasan, kekuatan itulah ayah, berdiri bagaikan tiang penyanggah rumah agar tidak goyah.
Ayahku adalah suami yang mencintai istri yang sedang sakit, merawatnya dan menjaganya, mencintai anak-anaknya meskipun ada banyak hal yang mungkin anak-anaknya tidak tahu seperti apaayah. Namun, cinta kasih ayah akan tetap di hati kami putra-putrimu. Aku tahu cinta ayah tidak berubah kepada keluarganya meskipun ia telah senja. Dan senja hari ini sama seperti ayah, akan selalu memancarkan sinar sampai waktu gelap tiba. Terimakasih ayah sudah merawat ibu dan menjadi ayah yang hebat untukku, maaf karena aku belum bisa memberikan sesuatu yang membanggakan untukmu.
Created : Ayu Purnama Sari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H