Lihat ke Halaman Asli

JOGJA BERHATI MACET

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jogja dan macet seperti mulai menjadi 2 kata yang mulai makin merekat satu sama lain. Mungkin memang berlebihan jika dibandingkan dengan kemacetan seperti yang terjadi di Jakarta. Tetapi karena kota Jogja memang pada dasarnya tidak akrab dengan kemacetan membuat warganya gerah dengan hal ini. Kecuali pada saat masa liburan sehingga wisatawan memenuhi jalan-jalan Jogja karena memang Jogja menjadi kota tujuan wisata.

Jika menilik pada 5 atau bahkan 10 tahun ke belakang, kata macet di jalanan Jogja tidak akan pernah terbayang bahkan dipikirkan oleh para warganya. Apalagi jauh bertahun-tahun sebelumnya. Tetapi 2 tahun belakangan, kemacetan makin terasa di jalanan Jogja. Waktu tempuh kendaraan menjadi lebih dari biasanya untuk mencapai tujuan. Berbagai titik-titik kemacetan yang sudah makin parah bahkan kita bisa sedikit merasakan bagaimana rasanya terjebak kemacetan di Jakarta. Orang-orang yang bukan warga Jogjapun juga ada yang mulai mengeluhkan hal ini jika sekarang mampir ke Jogja. Hal itu menunjukkan bahwa memang jalanan Jogja makin padat sehingga terjadi kemacetan. Saya sendiri juga merasakan hal tersebut. Beberapa tempat sekarang memakan waktu tempuh yang lebih dari biasanya. Sayapun tidak bisa lagi berangkat menuju stastiun kereta api atau bandara hanya 15 atau 20 menit sebelum jadwal keberangkatan seperti kebiasaan sebelumnya. Saya harus jauh lebih awal sekarang untuk mengantisipasi kepadatan lalu lintas Jogja yang makin tidak bisa ditebak.

Saya pribadi menganggap kemacetan yang mulai menghinggapi Jogja ini bermula dari banyakanya penduduk yang notabene adalah pendatang di Jogja. Kedatangan pendatang sendri bak dua sisi mata uang yang memiliki wajah berbeda. Ada sisi negatif dan sisi positifnya. Pertama, untuk sisi negatifnya. Kemacetan yang terjadi sedikit banyak menunjukkan bahwa Jogja mulai padat penduduknya. Tidak hanya dipadati oleh penduduk yang memang warga asli Jogja tetapi juga para pendatang. Mulai dari yang hanya berwisata untuk waktu yang sebentar, menimba ilmu sebagai pelajar atau mahasiswa hingga ke orang yang memang mencari tempat tinggal baru dan akhirnya menetap di Jogja. Para pendatang inilah yang membawa rangkaian tambahan jumlah kendaraan ke jalanan Jogja. Jumlah kendaraan bertambah tetapi jalanannya tidak ikut bertambah luas tentunya mengakibatkan kepadatan dan akhirnya kemacetan.

Tetapi pada sisi yang lain, para pendatang yang terus berdatangan ke Jogja juga menunjukkan bahwa kota ini masih terus memiliki magnet tersendiri bagi para pendatang.. Hal itu menunjukkan bahwa Jogja masih cukup nyaman untuk disinggahi dan bahkan untuk ditinggali. Terutama dari segi wisatanya. Wisatawan yang datang ke Jogja tentunya memberikan dampak ekonomis yang cukup signifikan bagi berbagai lapisan mulai dari pendagang kecil hingga pemasukan daerah. Suatu kebanggan tersendiri bagi warga Jogja untuk bisa terus menjamu para tamunya dengan tangan terbuka.

Karena pendatang yang terus berdatangan itu juga tak mungkin ditolak atau bahkan diusir maka perlu ada solusi yang benar-benar konkrit. Bagaimanapun selama Jogja masih dianggap nyaman dari segi wisatanya, untuk menimba ilmu atau sekedar untuk menghabiskan waktu di hari tua maka akan terus banyak orang yang datang ke Jogja. Saya sendiri juga hingga detik ini masih belum mendapatkan solusi apa yang tepat untuk permasalahan ini. Saya pribadi hanya bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan bersepeda atau menggunakan transportasi umum jika memungkinkan atau menempuh jarak pendek. Tapi kedepannya diperlukan solusi yang benar-benar konkrit karena kepadatan ini bisa terus bertamabah tanpa terkendali. Jangan sampai keluhan-keluhan kecil seperti yang saya sebutkan diatas membuat Jogja tak lagi berhati nyaman bagi para penduduknya dan para tamu-tamunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline