Lihat ke Halaman Asli

Edisi Menciderai Sumpah-Janji *Melawan Lupa*

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini bukan saja soal komitmen, tapi juga janji dan sumpah ketika kau menikahi istrimu yang tidak saja disaksikan Tuhan tapi juga seluruh handai tolan, kaum kerabat dan semua mata karena perkwainanmu sungguh sangat megah. Lantas, diseparo perjalanan, tiba tiba saja kamu gamang ketika disodori calon istri yang lebih menawan. Mula-mula selalu kau katakan tidak akan meninggalkan istrimu, akan selalu bersama istrimu, tidak mikir istri baru. Namun apa yang terjadi? Diam-diam kau tidak bisa menolak pesonanya....

Saat itu aku sungguh berharap kau akan bertanya pada istrimu dan meminta pendapatnya. Jika istri ridho, maka berhati-hatilah karena engkau harus bersikap adil dalam membagi perhatian. Sekali lagi karena engkau telah diikat oleh sumpah dan janjimu. Jika sebaliknya maka engkau harus legowo, karena istri memang tidak mau berbagi.

Sesungguhnya akan lebih bijaksama jika engkau selalu bersama sang istri, bercengkrama dengan sang istri tanpa tergoda dengan pesona perempuan lain. Dan kelak sejarah perjalananmu akan tercatat dengan tinta emas, semua akan mengenang bahwa engkau memiliki jiwa yang sangat kokoh, tidak tergoda walaupun kesempatan itu terbuka lebar.

Lalu apa gunanya kau berpaling jika itu tidak membawa barokah bagi semuanya? Kau katakan "Justru keputusanku ini adalah untuk kebaikan semua".  Betulkah? Tidakkah kau lihat ada yang terluka dan kecewa di sana? Tapi engkau terlalu silau dan tidak bisa melihat. Atau jangan-jangan kau abaikan apa yang pernah kau sumpah-janjikan.

Pesona istri baru itu sungguh menggoda dan terlalu berat untuk ditolak. Apalagi handai tolan, kaum kerabat tidak saja mengaminimu, tapi justru mendorong . Apakah ini yang kau inginkan? Tidakkah kau berpikir ini adalah ujianmu dan ujian kita semua?  Namun engkau terlalu naif untuk menutup hati dan mata.

Semua sudah terlanjur, dan langkahmu sudah tak terbendung. Bahkan sedihnya banyak yang bersedia menjadi pagar ayu untukmu karena pesona calon istrimu yang baru, dengan diam-diam berharap mendapat souvenir perkawinan yang indah darimu.  Apakah mereka telah lupa dengan sumpah-janji yang engkau ucapkan dulu, yang juga disaksikan oleh mereka bahkan merekapun merestuinya?

Sumpah janji adalah sesuatu yang sakral, karena disaksikan tidak saja oleh Tuhan namun juga semua orang. Namun engkau telah bermain-main terhadap apa yang telah kau ucapkan itu. Disini setan dan malaikat berperang dalam hatimu. Dan sejarah membuktikan kau gampang tergoda. Kelak jika engkau jadi pengantin baru lagi dengan singgsana yang gemerlap, adakah barokah atau musibah yang terjadi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline