Lihat ke Halaman Asli

Selvy Annesa Putri

Poems, old songs, and a sky full of stars.

Filosofi Menunggu

Diperbarui: 18 April 2017   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Seperti dedaunan yang mulai menguning kemudian jatuh pelan-pelan dari dahannya dan tangkai-tangkai pohon yang mulai rapuh; mereka tidak pernah jenuh menunggu datangnya musim semi.

Seperti meja, kursi, dan vas bunga yang berserakan di ruang tamu; kepingan pecahan piring dan gelas memenuhi lantai dapur; pakaian dan buku yang berhamburan keluar dari lemari kamar tidur; debu yang mengendap dengan tebal di jendela halaman belakang; dan sarang laba-laba yang menempati tiap-tiap sudut plafon di seluruh ruangan: rumah masih menunggu tuannya untuk pulang.

Seperti kursi-kursi di kedai kopi yang tidak terisi dan pelayan kafe yang sibuk mondar-mandir merapikan meja; mereka masih menunggu pengunjung yang akan datang untuk sekadar memesan segelas kopi atau teh sambil menulis beberapa baris puisi—atau mungkin hanya sekadar berbincang dengan kesunyian.

Seperti ayah yang pulang kantor di malam hari dan ibu yang setiap pagi menyapu halaman rumah; mereka tidak pernah berhenti mengirim doa di sepertiga malamnya untuk anak-anak yang berada di tanah rantau dan tetap setia menunggu tukang pos yang akan datang membawa sepucuk kabar.

Seperti isi kepalaku yang semakin hari semakin dipenuhi dengan warna-warni baju yang sering kau kenakan, wangi parfum yang biasa kau pakai, dan suaramu yang khas berdengung di telingaku membawaku kembali ke masa-masa di mana bahuku selalu menjadi sandaranmu untuk beristirahat dari segala kepenatan hidup; aku masih menunggumu pulang.

Makassar, 18 April 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline