Lihat ke Halaman Asli

Syahru Reza

Suka membaca buku nonfiksi dan berdiskusi dengan yang tidak sependapat agar bisa selalu punya sudut pandang yang baru

Mukim: Lembaga Adat yang Dimasukkan ke Dalam Struktur Pemerintahan Provinsi Aceh

Diperbarui: 14 Februari 2022   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A. Lembaga Adat

  1. Pengertian Lembaga Adat

Indonesia memiliki keberagaman budaya bahkan sebelum merdeka. Beberapa  wilayah masih mempertahankan adat budayanya bahkan memasukkannya ke dalam  struktur pemerintahan di daerahnya. Walaupun sempat hilang di era orde baru karena  dekonsentrasi namun setelah reformasi pemerintah mulai mengakomodir kembali  keberagaman budaya tersebut. Provinsi Aceh termasuk dari beberapa daerah yang  mengadakan beberapa lembaga adat dalam pemerintahan daerahnya dan di atur  dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 

Untuk mengetahui bagaimana yang dimaksud dengan lembaga adat maka  terlebih dahulu harus mengetahui pengertian kata "lembaga adat". Lembaga dalam  kamus besar bahasa Indonesia berarti asal mula, bentuk/rupa, acuan, badan  (organisasi), dan kepala suku. Lembaga pemerintahan dalam KBBI diartikan dengan  badan-badan pemerintahan dalam lingkunan eksekutif.1 Pengertian lembaga lebih  menunjuk pada sesuatu bentuk, sekaligus juga mengandung mana yang abstrak.  Karena dalam pengertian lembaga juga mengandung tentang seperangkat norma norma, peraturan-peraturan yang menjadi ciri lembaga tersebut. Lembaga merupakan  sistem yang kompleks yang mencangkup berbagai hal yang berhubungan dengan  konsep sosial, psikologis, politik dan hukum. Menurut Ruttan dan dan Hayami,  lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan  di mana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain  untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan.

Kata adat merupakan terapan kata dari Bahasa Arab yang diartikan sebagai  kebiasaan. Adat atau kebiasaan adalah tingkah lalu seseorang yang terus menerus  dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat dalam waktu yang lama.  Adat istiadat berlaku pada wilayah yang masyarakatnya mempertahankan hukum  adat (Yulia, 2016). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang  Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga adat diartikan sebagai  lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar  telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu  masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan  di dalam hukum adat tersebtu, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,  mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yan berkaitan  dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

Dari paparan pembahasan di atas mengenai lembaga adat maka dapat  disimpulkan bahwa lembaga adat adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh suatu  masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah  daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu  daerah tersebut. Khusus untuk wilayah Provinsi Aceh, mengenai lembaga adat di atur  dalam Qanun Provinsi Aceh sehingga lembaga adat di aceh sudah diakui dalam  sistem perundang-undangan Negara Republik Indonesia.

  1. Dasar Hukum Lembaga Adat Di provinsi Aceh

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 mengakui adanya kehidupan  adat istiadat yang berkembang di wilayah Republik Indonesia, ini bisa dilihat dari  Pasal 18B ayat 1 dan 2 yang berbunyi :

"Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah  yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat  hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai  dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik  Indonesia yang diatur dalam undang-undang"

 Maka dari itu Provinsi Aceh yang diakui sebagai daerah modal juga diberi  kebebasan dalam menjalankan adatnya dan diakui dalam peraturan perundan undangan.

Perjalanan lembaga adat di Provinsi Aceh sejalan dengan perjalanan aturan aturan yang terus menerus berubah sesuai dengan perkembangan zaman serta  keinginan masyarakat Aceh untuk menetapkan syariat Islam menjadi aturan formal.  Keberadaan lembaga adat di Provinsi Aceh telah ada sejak era kesultanan Aceh yang  berusia sekitar 400 tahun . Struktur pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam  berbentuk sistem pemerintahan piramid dengan susunan dari yang teratas adalah :  kerajaan (negara), sagoe (federasi dari beberapa nanggroe), mukim sagoe, nanggroe (kecamatan), mukim (federasi gampong), gampong (kampung/desa), meunasah,  seunebok, dan rumah tangga (Thamrin & Mulyana, 2008).

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar  Muda (1607-1636). Pada masa Sultan Iskandar-lah banyak dilengkapi aturan-aturan  yang telah ada di masing-masing negeri, penyusunan dan penegakan hukum yang  benar sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Sistem  pemerintahan disusun mulai dari tingkat tertinggi yaitu tingkat kerajaan, negeri,  kemukiman dan gampong. Sebagian gampong memiliki perkumpulan tani yang  disebut seneubok. Setiap jenjang kepemimpinan memilik pendamping. Pemimpin  tertinggi kerajaan yaitu sultan didampingi oleh Kadli yang memahami hukum Islam,  adat, qanun dan reusam serta dibantu pula oleh mufti. Tingkat Mukim, pemimpim  mukim yaitu Imum mukim didampingi oleh imuem syik yang mengurus dan  memimpin mesjid. tingkat gampong (desa). Pimpinan gampong yaitu geuchik  didampingi oleh teungku imum yang mengurus dan memimpin meunasah.

Kemudian Sultan Iskandar Muda baru mulai membuat aturan baru yaitu  mukim-mukim yang jumlah penduduknya 1000 orang dapat membentuk federasi  yang kemudian disebut keurajeun uleebalang (kekuasan hulubalang). Dalam  keurajeun ini pula pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh pang sagoe.  Untuk tingkat gampong, selain geuchik dan teungku imum ditambah lagi dengan  ureung tuha, jumlahnya, menurut penelitian C. Snouck tidak tentu dan cara  pemilihannya juga tidak ada aturan yang baku namun lebih ditentukan oleh opini  umum. Ureung tuha yang dimaksud oleh Snouck ini adalah seperti yang lazimdisebut tuha peut sekarang. Memang pemilihannya dahulu kadang-kadang ditunjuk  atau diajak oleh geuchik dan teungku imum untuk menjadi anggota musyawarah  desa, namun dalam perkembangannya kemudian lebih banyak dipilih langsung oleh  masyarakat secara lisan oleh anggota masyarakat terbanyak ataupun pengacungan  tangan (Jakfar, 2013).

Ketika Belanda menguasai Aceh, struktur pemerintahan di Aceh sedikit  berubah. Aceh menjadi daerah kerasidenan dengan empat Afdeling dan beberapa  Onderafdeling. Pimpinan tertinggi di Aceh pada masa itu dijabat oleh Gubernur  Jenderal yang berasal dari kalangan militer dalam perkembangannya sempat dijabat  oleh pejabat sipil Gubernur dan diubah kembali ke Guberbur Jenderal karena kondisi  perlawanan rakyat Aceh pada masa itu. Di tingkat afdeling di pimpin oleh Asisten  Residen dari kalangan militer belanda tingkat onderafdeling dipimpim oleh Kontrolir  dari Belanda. Pada tingkat mukim tetap dipimpin oleh imuem mukim, dibantu dengan imum  chik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan shalat jumat. pada tingkat desa tetap  dipimpin oleh geuchik dan didampingi oleh imum meunasah dan dibantu oleh ureng  tuha atau tuha peut untuk masalah-masalah terkait dengan musyawarah agar tercapai  mufakat atau dalam bahasa Aceh disebut meusapat (Rusdi, 2008).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline