A. Lembaga Adat
- Pengertian Lembaga Adat
Indonesia memiliki keberagaman budaya bahkan sebelum merdeka. Beberapa wilayah masih mempertahankan adat budayanya bahkan memasukkannya ke dalam struktur pemerintahan di daerahnya. Walaupun sempat hilang di era orde baru karena dekonsentrasi namun setelah reformasi pemerintah mulai mengakomodir kembali keberagaman budaya tersebut. Provinsi Aceh termasuk dari beberapa daerah yang mengadakan beberapa lembaga adat dalam pemerintahan daerahnya dan di atur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Untuk mengetahui bagaimana yang dimaksud dengan lembaga adat maka terlebih dahulu harus mengetahui pengertian kata "lembaga adat". Lembaga dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti asal mula, bentuk/rupa, acuan, badan (organisasi), dan kepala suku. Lembaga pemerintahan dalam KBBI diartikan dengan badan-badan pemerintahan dalam lingkunan eksekutif.1 Pengertian lembaga lebih menunjuk pada sesuatu bentuk, sekaligus juga mengandung mana yang abstrak. Karena dalam pengertian lembaga juga mengandung tentang seperangkat norma norma, peraturan-peraturan yang menjadi ciri lembaga tersebut. Lembaga merupakan sistem yang kompleks yang mencangkup berbagai hal yang berhubungan dengan konsep sosial, psikologis, politik dan hukum. Menurut Ruttan dan dan Hayami, lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
Kata adat merupakan terapan kata dari Bahasa Arab yang diartikan sebagai kebiasaan. Adat atau kebiasaan adalah tingkah lalu seseorang yang terus menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat dalam waktu yang lama. Adat istiadat berlaku pada wilayah yang masyarakatnya mempertahankan hukum adat (Yulia, 2016). Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, lembaga adat diartikan sebagai lembaga kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebtu, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yan berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.
Dari paparan pembahasan di atas mengenai lembaga adat maka dapat disimpulkan bahwa lembaga adat adalah suatu organisasi yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu daerah tersebut. Khusus untuk wilayah Provinsi Aceh, mengenai lembaga adat di atur dalam Qanun Provinsi Aceh sehingga lembaga adat di aceh sudah diakui dalam sistem perundang-undangan Negara Republik Indonesia.
- Dasar Hukum Lembaga Adat Di provinsi Aceh
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 mengakui adanya kehidupan adat istiadat yang berkembang di wilayah Republik Indonesia, ini bisa dilihat dari Pasal 18B ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
"Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang"
Maka dari itu Provinsi Aceh yang diakui sebagai daerah modal juga diberi kebebasan dalam menjalankan adatnya dan diakui dalam peraturan perundan undangan.
Perjalanan lembaga adat di Provinsi Aceh sejalan dengan perjalanan aturan aturan yang terus menerus berubah sesuai dengan perkembangan zaman serta keinginan masyarakat Aceh untuk menetapkan syariat Islam menjadi aturan formal. Keberadaan lembaga adat di Provinsi Aceh telah ada sejak era kesultanan Aceh yang berusia sekitar 400 tahun . Struktur pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam berbentuk sistem pemerintahan piramid dengan susunan dari yang teratas adalah : kerajaan (negara), sagoe (federasi dari beberapa nanggroe), mukim sagoe, nanggroe (kecamatan), mukim (federasi gampong), gampong (kampung/desa), meunasah, seunebok, dan rumah tangga (Thamrin & Mulyana, 2008).
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa Sultan Iskandar-lah banyak dilengkapi aturan-aturan yang telah ada di masing-masing negeri, penyusunan dan penegakan hukum yang benar sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan tertib dan lancar. Sistem pemerintahan disusun mulai dari tingkat tertinggi yaitu tingkat kerajaan, negeri, kemukiman dan gampong. Sebagian gampong memiliki perkumpulan tani yang disebut seneubok. Setiap jenjang kepemimpinan memilik pendamping. Pemimpin tertinggi kerajaan yaitu sultan didampingi oleh Kadli yang memahami hukum Islam, adat, qanun dan reusam serta dibantu pula oleh mufti. Tingkat Mukim, pemimpim mukim yaitu Imum mukim didampingi oleh imuem syik yang mengurus dan memimpin mesjid. tingkat gampong (desa). Pimpinan gampong yaitu geuchik didampingi oleh teungku imum yang mengurus dan memimpin meunasah.
Kemudian Sultan Iskandar Muda baru mulai membuat aturan baru yaitu mukim-mukim yang jumlah penduduknya 1000 orang dapat membentuk federasi yang kemudian disebut keurajeun uleebalang (kekuasan hulubalang). Dalam keurajeun ini pula pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh pang sagoe. Untuk tingkat gampong, selain geuchik dan teungku imum ditambah lagi dengan ureung tuha, jumlahnya, menurut penelitian C. Snouck tidak tentu dan cara pemilihannya juga tidak ada aturan yang baku namun lebih ditentukan oleh opini umum. Ureung tuha yang dimaksud oleh Snouck ini adalah seperti yang lazimdisebut tuha peut sekarang. Memang pemilihannya dahulu kadang-kadang ditunjuk atau diajak oleh geuchik dan teungku imum untuk menjadi anggota musyawarah desa, namun dalam perkembangannya kemudian lebih banyak dipilih langsung oleh masyarakat secara lisan oleh anggota masyarakat terbanyak ataupun pengacungan tangan (Jakfar, 2013).
Ketika Belanda menguasai Aceh, struktur pemerintahan di Aceh sedikit berubah. Aceh menjadi daerah kerasidenan dengan empat Afdeling dan beberapa Onderafdeling. Pimpinan tertinggi di Aceh pada masa itu dijabat oleh Gubernur Jenderal yang berasal dari kalangan militer dalam perkembangannya sempat dijabat oleh pejabat sipil Gubernur dan diubah kembali ke Guberbur Jenderal karena kondisi perlawanan rakyat Aceh pada masa itu. Di tingkat afdeling di pimpin oleh Asisten Residen dari kalangan militer belanda tingkat onderafdeling dipimpim oleh Kontrolir dari Belanda. Pada tingkat mukim tetap dipimpin oleh imuem mukim, dibantu dengan imum chik yang bertanggung jawab atas pelaksanaan shalat jumat. pada tingkat desa tetap dipimpin oleh geuchik dan didampingi oleh imum meunasah dan dibantu oleh ureng tuha atau tuha peut untuk masalah-masalah terkait dengan musyawarah agar tercapai mufakat atau dalam bahasa Aceh disebut meusapat (Rusdi, 2008).