Menurut antropolog Joel C. Kuipers pada sebuah artikel Tirto.id, penamaan anak jaman sekarang cenderung lebih rumit, panjang, dan ke-Arab-arab-an / ke-Inggris-inggris-an. Beberapa orang mempermasalahkan hal ini karena kurang 'njawani'. Akan tetapi bagi saya, itu bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Berikut alasannya.
1.) Nama adalah Doa dan Harapan
Sebagai orang tua, tentu saja kita mengharapkan hal yang baik-baik bagi anak kita. Salah satunya adalah dari sifatnya yang santun, baik hati, jujur, dan lain sebagainya.
Bagi saya, sangatlah masuk akal jika kemudian ada unsur-unsur Arab / Eropa di dalam nama anak, yang merefleksikan agama yang dianut oleh orang tua. Terlebih lagi untuk yang beragama Katolik, anak diberikan nama baptis yang mau tidak mau menggunakan nama-nama Eropa.
Selain karena unsur doa, nama juga memiliki unsur harapan agar ia menjadi seperti sosok tertentu. Misalnya, nabi, tokoh politik, pejuang, dan lain sebagainya. Sosok-sosok tersebut memiliki kesan tersendiri bagi orang tua.
2.) Budaya Jaman Now
Di era Internet ini, budaya dari berbagai belahan dunia sangat mudah sekali masuk. Akibatnya, akan ada lebih banyak lagi referensi nama (dan artinya) yang dapat digunakan oleh orang tua. Beberapa waktu yang lalu di media sosial, kita menjumpai anak yang diberi nama 'Madara Uchia' dan 'Senju Hashirama'. Kedua nama itu diambil dari nama tokoh anime kartun Naruto. Sedikit nyeleneh, ada juga orang tua yang tega memberi nama anaknya 'Pajero Sport' dan 'Sora Aoi' yang merupakan seorang aktris ihik-ihik :) .
Kalau nama-nama 'jaman now' itu kita anggap sebagai hal yang biasa, lucu, ataupun unik, lalu kenapa jika menggunakan nama yang berbau Arab / agama, tiba-tiba kita menjadi nyinyir ?
Perlu diingat bahwa cerita wayang dan karakternya juga tidak berasal dari Nusantara. Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa orang tua dan kakek-nenek kita sebenarnya adalah seorang wibu India.
Jaman dulu, trend cerita fiksi berasal dari India, sehingga anak muda jaman dulu juga menamai anaknya dengan karakter India. Nah, saat ini cerita fiksi Jepanglah yang berjaya, sehingga wajar-wajar saja jika wibu India berubah jadi wibu Jepang. Begitu pula dengan pengaruh sinetron Turki dan Amerika Latin yang mempengaruhi ibu-ibu. Nama-nama wayang dianggap 'njawani' karena proses akulturasi lama dan mendalam pada budaya Jawa. Nama-nama dari negara lain belum mencapai tahap itu karena baru beberap puluh tahun saja.
Kesimpulan