Akhir 2022, di sebuah negeri dongeng nan jauh disana, pemerintah mengadakan seleksi bagi para calon pegawai pemerintah baru. Tak seperti test-test sebelumnya yang terbuka untuk umum, test kali ini hanya diperuntukan bagi tenaga honorer yang sudah mengabdi sebelumnya. Alasannya, pemerintah kadung mengesahkan aturan dimana tenaga honorer wajib dihapus per akhir 2023, jadi ga ada pilihan lain selain mengangkat para timses dan saudara pejabat pahlawan pelayanan public ini menjadi ASN.
Rapat-rapat pun dilaksanakan demi memastikan semua proses berjalan lancar, baik dari segi perencanaan, pelaksanaan, maupun nanti pasca penyelenggaraan. Biaya rapat yang banyak dan sering itupun keluar demi memastikan kualitas rangkaian kegiatan yang akan berlangsung berbulan-bulan itu paripurna.
Waktu demi waktu berlalu, akhirnya waktu test pun tiba. Semua honorer dari seluruh penjuru negeri yang pernah mengabdi, mengikuti rangkaian seleksi dengan serius. Ini kesempatan yang sudah lama dinanti, demi kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik, meskipun kalo boleh jujur, sebelumnya pun ga susah-susah amat karena masih disokong uang dan pengaruh orang tua yang kebetulan pejabat tinggi di daerah masing-masing.
Selesai mengerjakan soal melalui system computer assisted test atau CAT, para peserta keluar dengan lega. Entah karena memang bisa mengerjakan test, atau sudah yakin bahwa apapun hasilnya, orang tua mereka bisa bantu sedikit banyak mengubah takdir, toh selama ini juga begitu, pikir mereka. Jikapun tidak, ada sebagian lowongan dengan jumlah kuota lebih besar daripada jumlah pendaftar, imbas dari kebijakan yang boleh melamar hanya yang sudah terdaftar sebagai honorer setempat saja, diluar itu, tidak boleh. Padahal test jadi honorer pun bisa dibilang tanpa prosedur yang jelas, apalagi transparan.
Berbulan berlalu, hari yang dinantikan pun tiba. Hari dimana pengumuman hasil test kemarin dibagikan ke publik. Suprisingly, (or not so supprisingly) ternyata mayoritas tidak lulus test. Kebanyakan peserta tidak memenuhi standar minimum nilai yang ditetapkan pemerintah. Entah ekspektasi pemerintah berlebihan mengingat kualitas SDM kita selama ini, atau memang ternyata SDM yang selama ini bekerja tidak memenuhi standar kompetensi yang seharusnya? Entah.
Pemerintahpun bingung. Amanat undang-undang sudah jelas bahwa pada waktunya, semua honorer harus sudah tidak ada, tapi, Ketika di test, ternyata mayoritasnya tidak lulus. Jika harus terjadi PHK, jumlahnya ternyata cukup banyak untuk membuat kegaduhan yang tidak perlu di tengah masyarakat. Terlebih, dalam waktu dekat juga akan ada pemilu presiden dan wakil presiden yang mau tidak mau, membutuhkan suara dari golongan ini. Jika sampai kepentingan honorer tidak terakomodir, akan jadi preseden buruk bagi partai penguasa dan bakal calon presiden nya.