Ada yang menganggu tidur saya belakangan ini, membuat saya gelisah dan mengkhawatirkan apakah anak saya kelak masih bisa hidup dalam ketenangan atau tidak. Kenyataan tentang anak-anak yang menjadi korban ‘keganasan’ dunia, membuat saya takut bukan main.
Pertama, kabar buruk itu datang dari Angeline. Bocah 8 tahun yang dinyatakan hilang, lalu ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Saya sontak menangis ketika membaca berita tentang penemuan jenazah Angeline. Tubuhnya penuh luka siksa dan dikubur dalam posisi memeluk sebuah boneka. Membayangkan bocah perempuankecil itu menangis ketakutan dan menjadikan bonekanya sebagai satu-satunya perlindungan, dada saya perih.
Barangkali meninggal dunia adalah nasib terbaik untuknya, Angeline adalah anak yang mau tidak mau hidup oleh keluarga lain sejak usianya 3 hari, lantaran ibunya tidak sanggup dengan biaya persalinan. Berpisah dengan keluarga kandung bukan satu-satunya sakit yang ia terima, menurut kabar yang beredar, putri kecil berwajah ayu ini kerap disiksa oleh keluarga angkatnya semasa hidup. Angeline setiap hari berangkat sekolah dalam keadaan kotor dan bau tai ayam, beberapa kali pihak sekolah mendapati hidungnya keluar darah. Saya terhenyak, kejam sekali dunia memperlakukanmu, nak..
Kabar tentang Angeline, mengembalikan ingatan saya pada Dewi. Seorang anak perempuan yang usianya hanya beda satu tahun dengan Angeline. Ketika di Bali sana, Angeline sedang memberi makan ayam agar bisa terhindar dari siksaan keluarga angkatnya, di Banyumas, Dewi sedang mengemis agar terhindar dari kejaran rentenir.
Dewi, adalah bocah kelas 3 sekolah dasar yang sempat membuat Banyumas berduka. Anak sekecil itu dikejar-kejar rentenir atas hutang almarhum ibunya yang jumlahnya tidak sedikit. Setiap hari, Dewi mau tidak mau berdiri di antara barisan mobil saat lampu merah. Panas, hujan, siang, malam, ia mengadahkan tangan memelas kasihan. Terkadang ia tak berani pulang kalau uangnya belum sampai target harian. Semua demi membayar hutang, uang yang dulu ia pakai untuk membayar pengobatan ibunya. Sang ibu telah pergi untuk selamanya, bocah kecil itu tetap menanggung beban.
Belum selesai perih di dada saya meratapi nasib Dewi dan Angeline. Kabar buruk lain datang dari dunia maya, sebuah akun instagram membuat saya sakit hati dalam sekali pukulan. Bernama @jualbayimurah, ya sesuai namanya, akun ini terang-terangan melakukan jual beli bayi di sosial media. Lengkap dengan katalog foto bayi bayi mungil, kisah mengapa bayi tersebut dijual, dan berapa harganya. Jual beli bayi? Ini saya atau mereka yang gila?
Usut punya usut, akun tersebut ternyata akun palsu yang dimanfaatkan suatu pihak untuk memperbanyak jumlah pengikut (follower). Hal seperti ini bukan pertama kali terjadi, beberapa pihak memang memanfaatkan sensasi demi menjaring massa di sosial media. Ujung-ujungnya, akun akan tersebut berganti nama dan dipakai untuk meraup rupiah.
Namun di situlah lagi lagi dunia menunjukan taringnya. Foto-foto bayi yang dijual beli pada akun tersebut adalah bayi yang masih memiliki orang tua lengkap. Pemilik akun, mencuri foto-foto tersebut dari akun-akun sosial media para orang tua. Saya membayangkan, bagaimana rasanya melihat foto anak sendiri terpampang di sebuah akun jual beli bayi. Bagaimana jika si anak sudah besar, mendapati kenyataan bahwa foto dirinya pernah menjadi komoditi jual beli palsu demi popularitas dunia maya? Sungguh, bahkan untuk sepotong gambarpun, dunia tak lagi punya tempat yang layak untuk anak-anak.
Kasus foto anak berbuah kejahatan, juga bukan pertama kali terjadi. Memajang foto anak di sosial media yang terlihat sepele, beberapa kali pernah mengundang kasus penculikan, perampokan, sampai jual beli manusia sesungguhnya. Betul-betul sepele, hanya karena foto anak menyebar di dunia maya, lalu dikenali dengan mudah oleh penjahat. Tak perlu orang lain, pengunggah foto anak ke dunia maya, apalagi sosial media, paling banyak dilakukan oleh orang tua sendiri. Narsis berujung tragis.