Lihat ke Halaman Asli

pungkaspung

Hanya buruh yang butuh nulis

Sudah Dipajaki dari Dulu

Diperbarui: 31 Januari 2021   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surat edaran dirjen pajak no. 48 tahun 1988(sumber: perpajakan.ddtc.co.id)

Siapa nih yang setelah muncul Peraturan Menteri Keuangan langsung merasa rugi banget jadi warga negara? Kalau pembaca merupakan salah satu dari yang geram dan merasa dirampok oleh negara, silahkan melanjutkan membaca. Ini saya rasa perlu sebagai pembuka, karena saya akan mengulas lebih jauh tentang kedua elemen pajak yang terkandung di peraturan menteri keuangan nomor 6 tahun 2021 ini.

Saya ingin mengawali dengan kalimat, kita sebetulnya sudah dirampok dari dahulu. Dan itu lumrah. Karena dari definisi pajak sendiri adalah iuran wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat wajib berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung. Saya saat awal masuk kuliah tahun 2011 mendengar definisi ini merasa "negara kok sadis ya?" Sama seperti yang anda rasakan saat ini.

Gak sadis gimana? Lha wong warga negara disuruh patungan wajib semacam arisan gitu dan tidak mendapat imbalan secara langsung. Udah diwajibkan patungan imbalannya gak langsung lagi. Semacam sedekah. Tapi ini wajib. 

Tapi setelah mempelajari secara mendalam pada semester selanjutnya saya menganggap ini adalah hal lumrah. Keperluan penyelenggaraan negara dalam APBN itungannya udah ribuan trilyun. Buat gaji PNS, membangun bandara, jembatan dan ngaspal jalan depan rumah saya. Makanya diwajibkan adalah kelumrahan meskipun tidak ada keikhlasan.

Lantas kembali lagi kepada topik pembicaraan peraturan menteri keuangan yang sudah saya sebutkan di awal. Setelah dilihat dan dibaca secara seksama dan juga melacak peraturan mengenai PPN sebetulnya kita ini sudah dipajaki sejak 1988 untuk pajak pulsa operator. Seperti yang sudah saya lampirkan halaman awal surat edarannya. Jadi pajak pertambahan nilai atas pulsa sebetulnya bukan barang baru bagi kita pemakai layanan operator jaringan. 

Bagi saya yang pernah belajar pajak terbitnya peraturan menteri keuangan ini adalah hal aneh. Lah sudah dipajaki dari lama kok malah dimunculkan peraturan menteri keuangan lagi. Kalau melihat dari berita yang muncul di media, menteri mengeluarkan peraturan sebagai penegasan saja untuk pengusaha jasa jual beli pulsa dan voucher. Jadi hal ini cukup menjelaskan bahwa peraturan ini buat mereka yang memiliki usaha jasa di bidang pulsa. Bagi kita para konsumen jelas tidak terpakai.

Lalu untuk voucher listrik (lagi-lagi jika dicermati) pada pasal 3 adalah jasa untuk penjualannya. Bukan barangnya atau tokennya yang dikenakan pajak. Bahkan pada pasal 5 dijelaskan pengecualian pengenaan pajak. Secara lebih jauh dan mendalam pada pasal 13 ayat (4) memuat penjelasan bahwa dasar pengenaan PPN token ini adalah fee/jasa distribusi token. Banyak yang mengira ini yang dikenakan pajak adalah listriknya. 

Jika melihat judul peraturan menterinya ya memang bisa menggiring kita pada kesimpulan itu. Bahkan saya sendiri awalnya juga berkesimpulan bahwa pemungutan pajak listrik ini bertentangan sama UU PPN (UU no 8 tahun 1983). Karena dalam UU tersebut listrik merupakan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis. 

Biasanya barang kena pajak tertentu tidak mungkin dikenakan pajak secara menyeluruh. Hanya yang membeli untuk urusan tertentu saja yang dikenakan pajak. Mungkin hal ini jika dirasa merugikan bagi pemakai listrik dengan token, dapat disiasati dengan memakai meteran pasca bayar (membayar bulanan). Atau bisa jadi ini siasat pemerintah agar kita membeli token langsung banyak.

Intinya kita tidak perlu berpikiran pulsa telepon dan listrik akan naik drastis dengan adanya peraturan ini. Karena memang peruntukan peraturan ini bukan untuk konsumen. Jikalau naik pun, tidak akan sampai naik 10% dari harga semula. Karena dasar perhitungan pajak bukan dari harga barang, tapi dari jasa/fee penjualan yang biasa kita sebut sebagai laba penjualan. Mungkin artikel ini dapat sedikit menjawab kekhawatiran para pembaca sekalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline