Lihat ke Halaman Asli

Syarif Ahmad

Universitas Mbojo

Fenomena Kesalehan Politik

Diperbarui: 27 Januari 2023   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagian orang menyebut tahun 2023 adalah tahun politik. Penyebutan tahun politik dikaitkan dengan meningkatnya tempratur sosialisasi politik oleh para aktor-aktor politik menuju tahun pemilihan umum 2024.   Ungkapan tahun politik, sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Karena setiap waktu manusia selalu berpolitik, begitulah ungkapan seorang filsuf politik besar seperti Aristoteles  (384-322 SM).

Pernyataan Aristoteles tersebut menegaskan bahwa politik sebagai sifat sunatullah manusia, alamiah, tabiat, atau "fitrah" tentang prilaku manusia.  Hal tersebut dikarenakan berpolitik merupakan puncak kesosialan manusia dan kesosialan tersebut merupakan ciri khas manusia secara umum.

Sebagai mahluk politik, manusia tidak dapat memisahkan diri dari orang lain, karena manusia tidak dapat mencukupi dirinya sendiri tanpa kehadirian orang lain. Manusia tidak akan menjadi manusiawi apabila tidak hidup dalam kebersamaan. Manusia dapat merealisasikan kemanusiaannya hanya dalam kehidupan bersama. Oleh sebab itu, manusia sebagai mahluk politik selalu mencitrakan dirinya sebagai manusia "baik" dihadapan manusia lainnya, maka munculah beragam riasan-kosmetik dalam sandiwara para aktor-aktor politik menjelang pemungutan suara. Tujuannya cuma satu, agar terlihat bagus. Itulah yang disebut sebagai pencitraan dalam aktivitas manusia sebagai mahluk politik.

Prilaku politisi semacam itu menjadi sesuatu yang lumrah dalam sistem politik demokratis. Bermain sandiwara serta kepura-puraan, singkatnya menampilkan citra "kesalehan", demi mendapatkan nilai lebih pada manusia lain (pemilih) agar selalu dilihat sebagai sebuah "kelebihan", dan dalam istlah politik kontemporer adalah mengkapitalisasi kelebihan persinal untuk meraih elektabilitas pada setiap momentum politik-pemilihan. Hasilnya adalah dikenal, disukai dan kemudian  dipilih oleh manusia lain (pemilih).

Fenomena kesalehan politik menjelang pemilihan, menarik ditinjau dengan menggunakan perspektif Erving Goffman tentang konsep Dramaturgi sebagaimana diurai dalam buku yang berjudul "The Presentational of Self in Everyday Life" ( 1959). Goffman menjelaskan tentang penampilan teateris interaksi tradisi simbolik dan fenomenalogi. Inti dari perspektif dramaturgis Goffman adalah bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh kesan pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Konsep dramaturgi memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka. Goffman, kemudian  membagi kehidupan sosial manusia itu dalam benberapa bagian penting; yaitu "wilayah depan" (front region) dan "wilayah belakang" (back region).

Pada wilayah depan ibarat panggung sandiwara (front stage) yang ditonton khalayak penonton adalah sesuatu yang "dicitrakan" sebagai kesalehan temporal berdasarkan momentum yang sedang dihadapi.  Sedangkan pada wilayah belakang, ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan agar terlihat sebagai manusia dengan citra terbaik sholeh, guna menarik simpatik manusia lainya dan kemudian untuk dipilih pada pemilihan.

Mengikuti alur konsep dramaturgi Goffman, bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung ("front stage") atau pada tahap mensosialisasikan dirinya dihadapan pemilih dan apa yang dilakukan di belakang panggung ("back stage") atau di ruang periasan, dimana drama kehidupan ditawarkan kepada khalayak. Kondisi akting di  front stage adalah adanya penonton (yang melihat- publik) dan pemilih yang sedang berada dalam bagian pertunjukan. Sementara pada bagian belakang, sandiwara yang tak terlihat oleh penonton karena bersifat privasi.

Namun ada satu hal yang menjadi pegangan khlayak atau pemilih yang menonton sandiwara tersebut adalah jejak rekam sang aktor politik yang sedang memaikan drama di atas panggung atas arahan sutradara politik yang merias dibelakang layar. Jejak rekam menjadi sangat signifikan mempengaruhi pembentukan opini, terlepas kehandalan sang pengatur skenario.

Menjadi penting bagi back stage panggung belakang merias sang aktor di front stage atau panggung depan agar mampu memainkan peran dalam menyedot perhatian khalayak tentang citra melalui sandiwara. Maka tak mengherankan kebaikan-kebaikan personal sebagaimana disepakati secara universal seperti kedermawanan, keramahan, kejujuran dan sebagainya menjadi dominan dilakonkan pada front stage sebagai bagian dari riasan yg dipoles pada back stage.

Begitulah politik diperankan dalam siasat menyampaikan pesan simbolik untuk mendapatkan kesan khalayak yang berhubungan dengan panggung depan. Persoalan panggung belakang tidak dapat ditonton secara utuh oleh khalayak, karena tertutup "tirai" privasi yang tersamar dalam pandangan mata oleh khalayak yang terhipnotis oleh peran dalam menyampaikan pesan simbolik pada panggung depan untuk mendapatkan kesan kesalehan.

Begitulah dunia politik ditafsir dari perspektif dramaturgi Erving Goffman dalam konteks membagi panggung depan yang memainkan peran simbolik dengan membawa pesan dan panggung belakang yang penuh misteri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline