Lihat ke Halaman Asli

Selokan Mataram, Sunan Kalijaga, dan Sultan HB IX

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1394819929742199350

Bila kita berjalan2 ke daerah utara Jogja, seperti daerah UGM dan sekitarnya, kita akan menemui aliran seperti sungai yang membelah kawasan tersebut dan menghubungkan dua sungai besar di barat dan timur Jogja, Sungai Progo dan Sungai Opak. Orang Jogja sekarang ini umum menyebutnya sebagai Selokan Mataram, namun menurut beberapa sumber aliran ini pernah dikenal dengan nama Kanal Yoshiro, nama ini diambil dari tokoh Simazu Yoshiro, seorang jenderal besar Jepang dari klan Shimazu di masa Sengoku.

Selokan ini merupakan buah dari kecerdikan dan kasih seorang penguasa, Sultan HB IX yang saat itu menjadi Sultan Jogja, kepada rakyatnya. Menurut sejarah, ide pembangunan Selokan ini dilatari oleh keinginan Sultan untuk melindungi rakyatnya dari program romusa Jepang karena kita semua mengetahui bahwa para romusa seringkali menemui nasib yang mengenaskan. Dalam benak Sultan, jika rakyat terpaksa harus mengikuti romusa, maka mereka harus tetap bekerja di wilayah Jogja dan hasil kerja mereka harus bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan warga Jogja pada umumnya. Maka, Sultan pun mengajukan usulan untuk membuat saluran irigasi yang bisa menghubungkan sungai Progo di arah barat dan sungai Opak di timur. total, aliran irigasi ini merentang sejauh 30-an kilometer. Permintaan Sultan disetujui sehingga rakyat Jogja selamat dari kewajiban romusa.

Banyak sumber menyebutkan bahwa ide Sultan untuk membangun Selokan ini berasal dari perkataan Sunan Kalijogo, salah seorang penyebar Islam di Nusantara, yang menyatakan bahwa bumi Mataram akan subur dan rakyatnya sejahtera jika Sungai Opak dan Sungai Progo bisa disatukan. Tentu sulit membayangkan pada waktu itu bagaimana bisa menyatukan dua buah sungai yang jaraknya saling berjauhan, bahkan mustahil. Mengingat bahwa jarak antara keduanya yang sangat berjauhan.

Namun berkat kecerdikan Sultan HB IX, hal yang dulu terdengar mustahil tersebut dapat diwujudkan sehingga terbuktilah kata-kata Sunan Kalijaga. Perlu diketahui bahwa sebelum pembangunan Selokan Mataram, dataran rendah luas di antara kedua sungai besar itu, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakara, merupakan daerah minus. Tanaman pangan hanya bisa diupayakan pada musim hujan. Tak ada harapan jika kemarau datang. Sri Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warganya diperintahkan untuk membangun sebuah selokan saluran air yang menghubungkan Kali Progo di barat dan Sungai Opak di timur. Dengan demikian lahan pertanian di Yogyakarta yang kebanyakan lahan tadah hujan dapat diairi pada musim kemarau sehingga mampu menghasilkan padi dan bisa memasok kebutuhan pangan Tentara Jepang.

Hingga saat ini, Selokan yang bisa mengairi puluhan ribu hektar sawah tersebut masih berfungsi dengan baik meski di sana-sini kita dapat melihat bahwa pada wilayah-wilayah tertentu kondisinya tampak memprihatinkan karena banyaknya sampah dan limbah. Hal itu terjadi karena barangkali situs bersejarah yang telah memberi banyak jasa bagi pertumbuhan masyarakat t

ersebut kian asing dari kehidupan masyarakat Jogja. Secara fisik memang selokan ini masih membentang seperti aslinya di masa lalu, namun perlahan-lahan peran dan maknanya mulai tergusur dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jogja. Padahal selain nilai sejarahnya, selokan ini sangat berkaitan dengan kebutuhan paling vital manusia: air.


sumber gambar:
Adi Taruno, The old Selokan Mataram, oil on canvas
http://idaonurat.blogspot.com/2010/05/adi-taruno-old-selokan-mataram-oil-on.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline