Mumpung lagi ramai pembahasan wacana pembubaran OJK, perlu rasaya untuk ikut nimbrung. Soalnya, sebagai sebagai Pegiat Advokasi Nasabah, kami juga ada kepentingan (baca: berharap banyak) dengan OJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dalam salah satu fungsi OJK ada terkait dengan Perlindungan Konsumen (Jasa Keuangan) yang artinya kurang lebih tidak jauh-jauh juga dari unsur kepentingan Nasabah.
Jadi, kurang afdol rasanya kalau tidak ikut mengeluarkan suara, pendapat, pandangan atau apapun namanya terkait dengan wacana pembubaran OJK ini.
*****
Karena dari judulnya saja sudah dapat disimpulkan posisi kami di pihak mana, sehingga tinggal menguraikan apa dasar dan latar pertimbangannya untuk berada dalam posisi tersebut, yaitu sebagai berikut:
- Menurut penilaian kami, komitmen OJK untuk pelindungan Nasabah sangat rendah. Keberpihakannya terhadap Bank masih jauh lebih besar daripada Nasabah. Kadang malah OJK bersedia mengambil peran jadi juru bicara pihak Bank.
Alasan kami tiba pada kesimpulan seperti itu adalah karena pernah 2 sampai 3 kali kami minta fasilitasi mediasi mewakili Nasabah, namun tidak ada tindaklanjutnya. Lalu ketika dicoba untuk minta konfirmasi perkembangan, akan mereka jawab dengan jawaban-jawaban yang normatif.
Karena dari 2 sampai 3 kali pengalaman yang kurang menggembirakan itu, untuk yang berikut-berikutnya kamipun tidak mau mengulang lagi, karena hanya akan membuang-buang waktu dan energi.
Bayangkan, kami saja sebagai pegiat Advokasi Nasabah yang dalam arti bisa adu argumentasi dengan petugas yang melayani mengenai mengapa harus sampai minta bantuan ke mereka bisa mengalami hal seperti itu, lalu bagaimana dengan masyarakat awam yang jangankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh OJK, hak-hak dasarnya sendiri saja sebagai Nasabah kadang tidak mengerti? - Tidak jauh-jauh dari hal tersebut di atas, lihat saja sharing korban-korban debt Colector di Media Sosial, terutama perlakuan-perlakuan pihak Bank yang tidak manusiawi kepada Nasabahnya, apakah ada tindakan OJK? Sejauh yang kami amati, masih NIHIL.
Mengenai contoh-contoh kasus tindakan-tindakan Debt Colector bisa dilihat di https://www.medianasabah.com/search/label/debt%20collector?&max-results=20. - Hal yang sama juga dengan eksekusi jaminan. Terutama yang sudah jelas-jelas melanggar Undang-undang. Seperti perampasan mobil atau motor misalnya. Harusnya Lembaganya juga dikenakan sanksi tegas. Karena kalau tidak? akan begitu-begitu terus. Coba lembaganya dikenakan sanksi tegas. Pasti Lembaganya mikir 2 kali melakukannya. Kalau seperti yang terjadi selama ini, paling hanya sampai pada tingkat pelaku dilapangan, itupun karena Nasabahnya melapor ke Pihak Kepolisian. Sementara masih banyak yang akhirnya pasrah saja. Lembaganya? nyaman-nyaman saja jadinya. Sementara Nasabah pasti menderita lahir batin.
- Terkait dengan eksekusi jaminan, baik jaminan Fiducia ataupun Property, kami tengarai ada kepentingan bisnis disana. Jadi sudah ada yang mengincar atau menampung. Sehingga ketika Nasabah bermohon untuk diberikan solusi atau kelonggaran waktu, akan "sengaja" dipersempit. Dipersulit. Akhirnya jadilah nasabahlah yang jadi Korban.
Dalam konteks Perlindungan Nasabah, apakah OJK ada minat atau niat membongkar modus-modus seperti ini? Sepertinya ga mungkin. Dan Ga akan. Yang standar-standar saja masih dipertanyakan. Apalagi diluar itu. - Sepertinya pihak OJK jarang mensosialisasikan (ataukah mungkin malah tidak pernah sama sekali?) peraturan-peraturan yang diterbitkannya kepada pihak Bank atau lembaga yang dibawah otoritasnya. Atau paling tidak melakukan cross check secara berkala untuk memastikan pelaksanaannya apakah sudah sesuai atau belum.
Seperti contohnya, masih sering ditemui pihak Bank menolak memberikan hasil print out SLIK ke Nasabah yang ditolak pengajuan Pinjamannya karena ada history pinjaman yang non performing. Alasannya karena Rahasia. Kok ke orangnya sendiri Rahasia?
Jadilah akhirnya Nasabah bingung sendiri, dan harus cari informasi kesana sini. Kalau ketemu pemberi informasi yang benar mungkin mujur. Tapi kalau pemberi informasi yang tidak benar? Akan tambah merana lagi. Banyak juga yang akhirnya jadi pasrah begitu saja, karena tidak tau lagi menindaklanjutinya seperti apa.
Yang paling menyakitkan adalah Nasabah yang jadi korban SLIK (mengenai Korban SLIK ini akan kami ulas pada butir 7). Sudah rumit, akan semakin rumit lagi masalah yang akan dihadapi Nasabah seperti ini. Bayangkan, pengajuan pinjamannya ditolak, dengan alasan Blacklist" sementara dia sendiri yakin tidak pernah ada pinjaman di Bank, dan ketika diminta bukti historinya pihak Bank menolak dengan alasan Rahasia.
Kalau mau minta ke OJK akan panjang lagi ceritanya. Masalah keterbatasan waktu, banyak yang sungkan, jarak tempuh yang jauh, karena OJK mungkin adanya di Kota, sementara Nasabah tentu tidak hanya adanya dikota. - Hal yang kurang lebih sama dengan butir 5, masih banyak pihak Bank atau Lembaga Pemberi Kredit Lainnya menolak pemberian pinjaman ke calon nasabahnya krn alasan Blacklist secara kaku. Karena ada kollek 2 misalnya. Tanpa mau membedah lagi kenapa bisa seperti itu. Karena bisa jadi kekurang mengertian Nasabah mengenai kolektibilitas itu, yang penting baginya, tiap bulan bayar. Apalagi sumber dana pembayaran angsuran tegantung dari tanggal gajian. Yang paling sering terjadi, karena masalah iuran member Kartu Kredit. Pihak Nasabah merasa tidak punya kewajiban untuk membayar iuran member, sementara pihak Bank masih membebankan. Bahkan pernah kejadian karena masalah materai.
Kasus-kasus yang juga banyak ditemui, yang bahkan menjadi penyebab history kollek 5 adalah kasus2 yang penutupan kartu kredit yang oleh Nasabah sudah merasa menutup, sementara oleh pihak Bank belum. Semuanya ini akan selalu mengorbankan Nasabah. Dan akan selalu seperti itu. Entah sampai kapan.
Bahkan ketika Nasabah mengalahpun untuk siap bayar, tetap saja mengalami penolakan pengajuan kredit, karena katanya harus menunggu history BI Cehking/SLIKnya bersih dari history negatif tadi. - Kepedulian OJK terhadap Nasabah yang paling mengkhawatirkan menurut saya adalah mengenai ketidakpeduliannya terhadap korban-korban SLIK. Makanya sengaja saya ulas paling akhir. Karena menurut saya masalah ini sangat penting.
Bagaimana tidak! Sebagai pemilik system dan penyedia akhir informasi dari system Informasi, OJK ini pemegang peranan penting sebagai "pembunuh karakter" Nasabah. Terutama Nasabah yang tidak berdosa.
Contoh:
7.1. Seseorang tidak pernah Pinjam, tetapi oleh karena satu dan lain hal datanya tercantum di history SLIK.
7.2. Pinjaman sudah Lunas, Jaminan sudah dikembalikan, akan tetapi pihak Bank/Pelapor lainnya lalai melakukan update SLIK.
7.3. Hal yang hampir sama dengan butir 7.2. Pinjaman sudah lunas, Surat Lunas ada (Karena Kartu Kredit atau kredit Tanpa Agunan) tapi pihak Bank/Pelapor lainnya lalai melakukan update SLIK.
7.4. Nasabah meminjam di salah satu Lembaga Pemberi Kredit yang satu grup atau karena adanya kejasama bisnis. Karena Lembaga yang satu grup atau Kerjasama bisnisnya ini, lalai, pegawainya fraud, atau penyebab lain di internalnya lalu Lembaga yang satu grup atau kerjasama bisnisnya ini lalai atau sengaja tidak melakukan update yang semestinya.
7.5. Karena sesuatu dan lain hal, ada transaksi yang tidak diakui oleh Nasabah, akan tetapi meskipun sudah melakukan complain, pihak Bank tidak mau tau, Nasabah tetap harus bayar, dan apabila tidak dibayar akan mempengaruhi History SLIK.
7.6. Bank/Pelapor lainnya sadar akan kekeliruannya dan bersedia untuk melakukan koreksi, akan tetapi yang dilakukan koreksi hanya terhitung mulai bulan berjalan, bukan semenjak terjadinya kekeliruan mereka.
7.7. Demikian juga dengan kekeliruan menerapkan kategori kollektibilitas, Kelalaian atau kealpaan pihak Bank/Pelapor lainnya yang akan terlalu panjang apabila harus disebutkan satu persatu.
Nah, kalau terjadi hal seperti ini, apa yang akan terjadi?
Ya "pembunuhan karakter" seperti yang disebutkan tadi. Karena selain akan selalu mendapatkan penolakan apabila mengajukan pinjaman, juga bisa merasa malu dan terhina. Apalagi menyangkut label Blacklist. Peluang mendapatkan manfaat apabila berhasil mendapat pinjaman, akan sirna seketika.
Timbul pertanyaan. Mengapa pihak Bank selalu merasa nyaman-nyaman saja? Bahkan meskipun mereka tau kesalahan ada dipihak mereka?
Jawabnya, karena berharap bantuan OJK, hasilnya sudah bisa ditebak. Ditempuh melalu jalur hukum butuh biaya yang tidak sedikit. Orang mengajukan pinjaman yang lalu ditolak, justeru karena sedang butuh dana. Dari mana dana untuk bayar Lawyer?
*****
Dari hal-hal tersebut di atas, dalam konteks Perlindungan Nasabah, kami mengambil kesimpulan sebagai berikut:
- Kami menilai OJK kurang komit, dan tidak akan komit terhadap Perlindungan Nasabah. Karena pasti akan susah merubahnya. kalaupun ada perubahan, paling hanya pada tataran konsep atau diatas kertas.
- Karena kurang komit tersebut otomatis akan kurang peka terhadap keluhan bahkan mungkin teriakan Nasabah. Salah satu contohnya adalah tulisan kami di Kompasiana https://www.kompasiana.com/pulosiregar/5a59cf565e137304ad46a064/selamat-datang-ojk-checking yang linknya juga kami kirim via email ke OJK tidak ada pengaruh sama sekali, yang artinya informasi mengenai kondisi yang ada tersebut telah tersampaikan ke pihak OJK. Namun karena kekurang-pekaan teersebut,
- Bank/Pelapor SLIK akan semakin banyak. Semakin Beragam. Seperti pertumbuhan Fintech yang sangat pesat misalnya. Demikian juga dengan Kerjasama Bank dengan grup atau kerjasama Bisnisnya. Kondisi yang sekarang ini saja sudah banyak korban yang bergelimpangan. Dan OJK tidak peduli. Bagaimana lagi nanti ke depan?
- Pada tanggal 13 Maret 2020 OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 11/POJK.03/2020 tentang Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. Peraturan ini membutuhkan penyesuaian-penyesuaian yang ada kaitannya dengan SLIK. Saya khawatir bisa terjadi banyak ketidaksesuaian. Yang pada akhirnya akan semakin memperbanyak Korban. Dan OJK tidak akan mau tau. Apalagi karena sudah merasa mengeluarkan kebijakan.