“Kiita? Elu aja kali?” begitulah kira-kira ungkapan jika kita merasa sesuatu yang kurang penting untuk diri kita. Sebaliknya jika sesuatu itu dirasa “gue banget”, biasanya kita fine-fine aja dengan “pelibatan” kita di dalamnya. Bagaimana jika sesuatu itu adalah SSK, kira-kira “gue banget” atau “elu aja kali” ya?
Bentar-bentar, apaan sih SKK itu? Satuan Setingkat Kompi gitu? Betul sih, tapi bukan itu yang dimaksud di sini. SSK yang ini adalah Stabilitas Sistem Keuangan, intinya dua hal: Stabilitas dan Sistem Keuangan. Lalu apa itu sistem keuangan? Sistem keuangan gampangnya adalah rangkaian aliran (jaringan) dana dari dan ke berbagai pihak, seperti bank, pegadaian, koperasi simpan pinjam, dana pensiun, bursa efek/pasar modal, perusahaan leasing, maupun perusahaan pembiayaan lainnya. Tentu saja lembaga-lembaga tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan kita selaku nasabah, baik nasabah individu (disebut rumah tangga) maupun nasabah badan usaha (disebut korporasi).
Terus mengapa harus stabil? Jika sistem ini tidak stabil akan menimbulkan krisis pada sistem keuangan, kemudian akan mengakibatkan krisis lainnya yang populer kita sebut krisis moneter. Nah, dengar istilah krisis moneter langsung ingat masa-masa krisis ekonomi 1998 kan? Pada waktu itu, sistem keuangan bukan sekedar tidak stabil, melainkan sudah menjadi krisis moneter, menyebabkan krisis ekonomi yang sangat dalam dan membutuhkan biaya recovery yang sangat besar. Data juga menunjukkan bahwa setiap kondisi ketidakstabilan sistem keuangan, apalagi krisis, selalu menjadi indikasi adanya krisis yang lebih besar, jika tidak ditangani dengan baik.
Lalu apa pentingnya buat kita? Bukankah itu tanggung jawab Bank Indonesia dan Pemerintah untuk menjaganya? Betul, Bank Indonesia dan Pemerintah selaku regulator atau pun pengawas memang berkewajiban untuk melakukan itu. Demikian juga dengan lembaga keuangan itu sendiri, harus selalu beroperasi sesuai dengan regulasi dan pengawasan otoritas pemerintahan. Namun, kita selaku individu sekalipun juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Setiap kondisi atau perilaku negatif kita selaku nasabah juga bisa bertransmisi menuju kondisi yang dapat mengganggu atau membahayakan stabilitas sistem keuangan. Bagaimana ceritanya?
Kita ambil contoh perbankan, yang merupakan lembaga keuangan yang paling kita kenal , di mana indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia terhadap perbankan mencapai 97%. Umumnya masyarakat kita telah terbiasa memanfaatkan produk dan layanan perbankan, baik pendanaan (tabungan, deposito, dll.), pembiayaan (KPR, KTA, Kartu Kredit, dll.), maupun jasa lainnya (pembayaran, pengiriman uang, dll.). Nah, yang harus disadari bahwa akumulasi kondisi atau perilaku negatif kita dalam memanfaatkan produk dan layanan perbankan tersebut dapat bertransmisi menjadi berbagai macam risiko pada bank. Pada gilirannya, jika risiko perbankan meningkat maka akan menyebabkan risiko ketidakstabilan sistem keuangan juga meningkat.
Kondisi dan perilaku negatif apa dan risiko perbankan apa saja yang akan dipengaruhi, kita bahas pada artikel berikutnya ya...... (bersambung)....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H