Lihat ke Halaman Asli

Krisis Ekonomi Global dan Reshuffle KIB II

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Puji Wahono

Ancaman krisis ekonomi global sudah di depan mata. Perekonomian dunia diperkirakan hanya akan tumbuh 4,1% tahun ini bahkan lebih rendah lagi 4% tahun depan. AS pusat kapitalisme dunia bahkan sedang menghadapi kerawanan sosial dan politik. Puncaknya adalah pendudukan kita yang menjadi jantung kapitasme dunia Wall Street oleh para demonstran mengidentifikasi diri mereka sebagai “kelompok 99”. Mereka merupakan 99% dari sekitar 9 juta penduduk New York yang menyebut sebagai korban ketamakan dan kerakusan 1% atau 90 ribuan penduduk superkaya kota tersebut yang menguasai 44% pendapatan seluruh penduduk kota ini. Kesenjangan yang sungguh menganga. Protes anti Wall Street dan kapitalisme ini sudah berkembang ke seantero kota-kota besar dunia baik di Eropa maupun di Asia.

Guncangnya kembali perekonomian AS yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari terus membengkaknya jumlah utang pemerintah adi daya tersebut yang kini mencapai US$14,58 triliun. Besaran utang AS itu telah melampaui PDB-nya untuk tahun 2010 yang jumlahnya US$14,53 triliun. Presiden Barack Obama karena itu berjuang keras menggoalkan paket stimulus ekonomi sebesar US$447 miliar untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih besar melalui berbagai proyek infrastruktur maupun subsidi pengangguran. Upaya yang tidak mulus karena akan mendapat ganjalan kongres. Sementara keresahan sosial terus berkembang dan demo-demo anti Wall Street terus meluas. Harapan perekonomian AS segera pulih memang tidak bisa dalam waktu cepat ini, meskipun otoritas moneter AS juga telah mendukung dengan berbagai kebijakan.

Eropa adalah adalah ‘setali tiga uang’ dengan AS. Sekutu utama AS di Eropa ini sekarang juga sedang terperosok dalam kesulitan utang. Kebijakan untuk menalangi (bail-out) utang swasta akibat krisis keuangan 2008 telah mengalihkan beban utang swasta kepada pemerintah. Kegagalan pasar (market failure) yang terjadi coba koreksi oleh pemerintah; sayangnya kini pemerintah juga gagal (governement failure), dus tidak ada lagi invisible hands yang mengoreksi. Yunani, Portugal, Italia, Irlandia, Spanyol, dan kini Perancis, Jerman, serta Italia yang perekonomiannya lebih besar tidak luput dari ancaman bahkan krisis utang ini. Uni Eropa kini bahkan banyak cicibir sebagai kumpulan negara-negara penghutang.

Bagaimana respons Indonesia? Dua kali krisis yang dialami pada 1997/1998 dan krisis keuangan dunia 2008 memberi pelajaran berharga bagi Indonesia. Program penyesuaian struktural ekonomi (structural economic adjustment) yang dilakukan pasca krisis 1997/1998 telah mengintegrasikan perekonomian Indonesia perekonomian global, sehingga tidak mudah terkejut dengan goncangan ekonomi global. Selain itu secara struktural juga terjadi pergeseran dalam perekonomian kita dimana pertumbuhan ekonomi semakin ditopang oleh kekuatan permintaan dalam negeri. Ketika terjadi krisis di AS yang memicu krisis keuangan global dan menjadikan pertumbuhan negaraif di berbagai negara, ekonomi Indonesia bersama India dan China justru mampu tumbuh positif dan kebanjiran aliran modal asing (hot money).

Masalahnya kemudian apabila ternyata berbagai kebijakan fiskal dan moneter AS serta negara-negara Eropa tersebut nantinya tidak mampu membebaskan negara-negara tersebut dari krisis, apakah Indonesia masih akan tetap tidak terkena dampak krisis tesebut? Mungkinkan success story 2008 dari krisis keuangan global berulang? Di jajaran kementerian ekonomi dan para pengamat memang masih optimistis tidak akan ada perubahan target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2011 sebesar 6,5% dan 6,7% untuk 2012. Mereka menyakini fundamental perekonomian Indonesia cukup kuat. Selain itu AS dan Eropa bukan tujuan utama dari ekspor komoditas Indonesia. AS sebagai tujuan ekspor urutan ketiga setelah Jepang dan China dan Eropa pada urutan kelima setelah Singapura.

Namun begitu semua ini masih tergantung pada eskalasi krisis di Yunani dan negara-negara Eropa, sehingga kita masih harus menunggu perkembangan kondisi yang terjadi di AS dan Eropa tersebut. Apalagi terdapat sinyalemen dari banyak pelaku usaha bahwa data-data terkait dengan ekspor ke AS dan Eropa sebenarnya selama ini penuh dengan bias. Artinya ekspor Indonesia ke China dan Singapura sebenarnyamerupakan ekspor ke AS dan Eropa juga. Bila soalnya demikian, bila krisis dan AS dan Eropa teresebut tidak segera teratasi maka cepat atau lambat akan berdampak pula ke Indonesia. Sejumlah komoditas yang langsung ekspor ke Eropa sudah pasti akan terkena dampak pertama krisis (first round-effect). Kemudian bila perekonomian China dan Singapura juga mengalami penurunan permintaan maka Indonesia terbuka peluang untuk mendapat gilran selanjutnya (second round-effect).

Para pembuat kebijakan moneter di Bank Indonesia menyebutkan kita telah memiliki protokol untuk menghadapi krisis ekonomi global baik yang di BI, Kemenkeu, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Masalahnya sifatnya masih parsial dan belum terintegrasi di tingkat nasional. Padahal itu dibutuhkan bila kondisi krisis di AS dan Eropa terus memburuk. Selain itu presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga telah menyebutkan kalau krisis keuangan 2011 ini berbeda dengan krisis tahun 2008; kalau krisis keuangan tahun 2008 itu adalah didominasi krisis perusahaan maka krisis tahun 2011 ini justru negara yang terlilit kesulitan bayar utang, sehingga dampaknya akan lebih besar.

Sementara itu kurang lebih dalam sebulan terakhir presiden dan kabinet justru disibukkan dengan reshuffle kabinet, yang kemudian diumumkan Selasa 18 Oktober 2011 jam 20.00 malam. Kita sebenarnya berharap kabinet yang dibentuk terutama tim ekonomi adalah merupakan the dream-team. Mereka terdiri dari orang-orang yang tepat sehingga mampu merumuskan kebijakan yang tepat pula guna menghadapi dampak krisis global ini. Namun bila melihat pada susunan kabinet yang diumumkan, tidak banyak perubahan kecuali tambahan para wakil menteri yang secara keseluruhan mencapai 19 orang, sehingga mengundang berbagai kritik masyarakat di tengah upaya reformasi birokrasi yang digulirkan presiden SBY sendiri.

Terlepas dari apakah para wakil menteri ini termasuk pejabat negara setingkat menteri atau tidak, yang jelas tidak akan banyak yang dapat dilakukan para menteri tersebut. Mereka tidak memiliki kewenangan secara administratif dan politis, sehingga pengambilan keputusan harus dikembalikan lagi kepada para menteri masing-masing. Akan tetapi yang pasti bahwa, pembentukan dan penambahan para wakil menteri ini adalah dipilih dan ditunjuk oleh presiden sendiri, dalam rangka tentunya memperkuat presiden dalam rangka merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan untuk mensejahterakan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Implikasinya adalah tidak ada lagi alasan dari presiden bahwa mereka tidak patuh, bahwa instruksi presiden tidak dilaksanakan, karena semua itu sekarang tergantung pada presiden. Hak prerogatif yang melekat pada presiden mengandung makna bila para pembantunya tidak tunduk pada presiden, maka presiden berhak menggantinya saat itu pula. Untuk itu Kegagalan pemerintah berarti kegagalan presiden dalam mengemban amanat rakyat. Semoga!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline