Lihat ke Halaman Asli

Musibah ataukah Berkah

Diperbarui: 13 Juli 2022   20:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Hari itu aku berangkat kerja tak seperti biasanya, entah kenapa hari itu berbeda dari hari-hari biasanya. Setiap pagi aku selalu melenggang dengan riang gembira,dalam hati senantiasa bersenandung lirih dan senyum simpul mengembang sempurna layaknya rembulan di langit malam. 

Namun,hari itu ada sesak yang menyeruak dalam dadaku, binar ceria di mataku seolah pudar, hanya tersisa tatapan nanar dan kosong, senyum yang seolah tertahan bahkan seperti dipaksakan serta derap kaki yang gontai mewarnai hariku kala itu.

Semua teman dekatku pun mulai bisa membaca,ada hal yang tak biasa dan aku memang tidak bisa menyembunyikan kekalutan dan kegundahan yang kualami . Padahal rapat pemilihan orang penting  di tempat kerjaku sudah dimulai,hatiku mulai tak karuan,aku semakin kalut ,pada siapa aku sandarkan gundah gulana ku karena yang aku tahu tak mudah untuk melewatkan hari itu. Menit demi menit berlalu,dan daftar orang-orang penting mulai terpilih dan awalnya aku merasa sangat lega ketika namaku hanya bertengger pada digit ketiga dan keempat,itu artinya amanlah posisiku untuk tidak terpilih.

 Ditengah-tengah waktu pemilihan,hpku berdenting, setelah aku lihat, ternyata ada beberapa temanku yang mulai memberikan ucapan selamat kepadaku, padahal proses pemilihan masih sedang berlangsung. Hatiku mulai goyah kembali dan keringat dingin mulai menderaku, sesak di dada dan rona wajahku pun mulai memucat kata teman teman dekatku. Aku semakin terpuruk ketika harus menerima kenyataan bahwa aku masuk dalam nominasi karena mendapatkan perolehan suara sedikit lebih unggul . Aku tidak hanya merasa syok,dunia seolah runtuh di penglihatan batinku. Sama sekali aku tak pernah bermimpi untuk menduduki jabatan penting itu, hari-hari yang kujalani selama ini sudah sangat cukup membuat diriku bahagia sehingga aku tak berniat menggantikan nya dengan jabatan apapun. Akhirnya aku terpaksa melewatkan hari itu dengan segenap rasa yang pedih dan pilu. 

Keesokan harinya aku sedikit bernapas lega karena libur dua hari sehingga aku bisa sedikit melupakan momen di hari yang paling menyedihkan dalam sejarah pekerjaan ku. Namun, ketika hari kerja tiba, kembali rasa sesak menyelinap dalam dadaku,karena aku kembali teringat akan tugasku yang semakin berat apalagi sumber dari pekerjaan yang akan aku laksanakan tidak aku punya dan bahkan aku tidak paham apa yang mesti kukerjakan,rasa yang aku punya hanya pias, bingung dan asing sehingga aku seperti mati rasa tak mampu lagi aku membedakan apakah ini berkah,ujian atau nikmat yang mesti aku syukuri.

Satu pintaku kepada yang maha kuasa, semoga akan ada banyak hikmah yang bisa aku ambil dari kejadian ini, sehingga hatiku semakin berwarna dan menambah kisah hidupku beserta lika likunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline