Nama dokter Mirza menjadi nama paling favorit yang selalu menjadi topik menarik untuk dibahas para penghuni kost putri bahkan di komplek perumahan tempat indekost ku waktu itu.
Profesi seorang dokter, tentu saja menjadi profesi idola bagi kaum hawa ketika memilih calon suami, apalagi ditambah statusnya sebagai seorang Al-Hafidz, sudah barang tentu pemilik nama itu menjadi incaran bagi remaja putri dan ibu-ibu komplek untuk dijadikan sebagai calon menantu idaman.
Selain wajahnya yang tampan dengan postur tinggi,atletis dan sorot mata setajam elang, dokter Mirza dikenal sangat ramah kepada siapapun yang dijumpainya,terlebih kepada pasien yang berobat kepadanya.
Konon katanya pasien yang pernah berobat kesana akan langsung sembuh sakitnya setelah bertemu dan ngobrol bersamanya, karena beliau pandai mengambil hati para pasien, sehingga para pasien akan merasa diperhatikan dan mendapatkan motivasi khusus untuk sembuh dari sakitnya.
Selain dikenal ramah, dokter Mirza juga dikenal dermawan dan rendah hati serta tutur katanya mampu membius relung hati yang paling dalam karena merdu dan lembut suara yang dimilikinya sangat khas.
Selama aku indekost di komplek iti, aku belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan dokter Mirza. Kebesaran namanya aku dengar lewat cerita teman-teman, ibu-ibu komplek ketika aku belanja sayuran di sekitar rumah kost atau ketika aku pergi ke Musholla di dekat klinik dokter Mirza.
Suatu hari ketika teman sekamarku Eka sakit,aku yang mengantarkan langsung berobat ke klinik dokter Mirza,itulah pertama kalinya aku berjumpa dan bercakap-cakap langsung dengan dokter Mirza.
Memang benar kabar yang beredar, dokter Mirza bukan hanya ramah tapi juga baik hati, karena saat itu secara langsung dokter Mirza tidak menarik biaya berobat untuk Eka, namun ia juga berjanji untuk menutup rapat hasil diagnosanya atas apa yang menimpa Eka waktu itu. Setelah bertemu dengannya secara langsung aku memang menyetujui kabar yang beredar bahwa dokter Mirza adalah sosok yang baik untuk dijadikan idola.
Semenjak Eka pulang dan berhenti kuliah, aku sendirian di kamar kost dan keheningan selalu menghiasi hari-hariku. Selain merasa terpukul dengan apa yang menimpa sahabat karibku, aku seolah kehilangan separuh nyawaku waktu itu.
Dalam kesendirian dan kekalutanku, aku iseng mencoba mencari hiburan diluar kegiatan kuliah dengan mendatangi Musholla yang tidak jauh dari klinik dokter Mirza. Saat aku kesana, jarum jam menunjukkan pukul 14.55 WIB atau menjelang sholat Ashar.
Setelah adzan dikumandangkan, aku segera mengambil air wudhu dan bergabung untuk melaksanakan jamaah sholat Ashar bersama anak-anak di kompleks itu. Setelah sholat Ashar aku sengaja berdiam diri sejenak sambil membuka juz'amma kecil yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi, lalu aku mulai membacanya pelan.